Tuesday, January 6, 2015

Sepucuk Surat untuk Ayah





Salam terhangat dari putri kecilmu yang sedang rindu,         

Ayah, aku menulis ini karena aku sedang rindu dengamu, aku ingin mengingat-ingat kembali semua kejadian bersama kita sejak aku kicil hingga sekarang.

            Ayah, ingatkah engkau dulu bagaimana engaku dengan sabar mengajari aku bermain sepeda, menuntunku dan mengajariku dari belajar bersepeda dengan roda empat, lalu roda tiga dan berakhir di roda dua. Ingatkah engkau bagaimana dulu engkau membangunkan kembali aku saat aku terjatuh? Menyemangatiku dan percaya bahwa aku bisa melakukan itu?


            Ayah, aku ingin bertanya apakah engkau tidak pernah kehabisan energi dalam hidupmu? Dulu sepulang engkau bekerja engkau masih mampu menyedikan waktumu untuk aku, untuk mendengar semua celotehan kecil dari bibir anakmu ini atau hanya sekedar bermain bersama. Padahal aku tahu engkau pasti sangat lelah dengan semua pekerjaanmu dikantor, namun engkau selalu berkata “lelahku akan hilang jika bertemu dengan peri kecil ini” sambil mencium kedua pipiku dan mengusap lembut kepalaku.

            Ayah, aku masih ingat bagaimana dulu setiap kali aku meminta sesuatu darimu pasti engkau berusaha untuk memberikannya. Aku juga masih ingat bagaimana dulu setiap kali aku merengek meminta sesuatu yang sangat aku inginkan namun engkau masih belum mampu memberikannya engkau hanya diam dan menutup matamu seolah engkau sedang meredakan amarahmu sendiri, dan kau hanya mengusap perlahan rambutku dan mengatakan “nanti yaa sayang kita beli, kalau ayah sudah ada rezeki lebih”.

            Ayah, kenapa engkau tidak pernah seperhatian dan selembut  ibu? Bahkan terkadang saat aku sakit karena salahku sendiri engkau malah membentakku dan memarahiku habis-habisan padahal saat itu aku ingin engkau sayang. Dan aku kini mengerti marahmu itu karena engaku kecewa padaku yang tidak mampu menjaga diriku sendiri. Karena engkau pasti tidak ingin putri kecilmu ini sakit dan terbaring ditempat tidur hingga kehilangan keceriaannya.

            Ayah, masih ingatkah juga engkau saat aku mulai beranjak remaja. Ingatkah engkau saat aku mulai meminta izin untuk pulang larut malam engkau dengan tegas menolaknya dan berkata “kamu ini anak perempuan, tidak sopan pulang malam-malam”. Padahal pada saat itu aku sedang ingin-inginnya bisa bermain bersama teman-teman sebayaku menghabiskan malam hingga larut, dan mencoba dunia-dunia baru yang masih sangat membuatku penasaran.

            Ayah, masih ingatkah engaku juga bagaimana dulu saat aku melanggar jam pulang malam darimu, engaku masih sedia munungguku di ruang tamu, untuk menunggu putri kecilmu ini dengan tatapan khawatir dan marah. Dan saat ini baru baru sadar bagaimana lelah dan khawatirnya engkau saat itu, saat putri kecilmu pergi tanpa pengawasanmu dan tidak tau apa yang sedang terjadi di luar sana, namun engkau tetap setia menunggu putri kecilmu pulang hingga larut padahal esoknya masih banyak pekerjaan yang sedang menunggumu di kantor.

            Ayah, masih ingatkah kamu setiap aku berdekatan dengan teman laki-lakiku engkau selalu melihatnya secara teliti seolah dia adalah perusak untuk putri kecilmu ini, lalu engkau akan memberikan banyak pertanyaan padanya untuk memastikan bagaimana gambaran singkat dia dimatamya, lalu setelah engaku sedikit yakinm engkau akan membiarkan aku pergi dengannya dengan tatapan yang aku tidak bisa mendefinisikannya.

            Ayah, lalu masih ingatkah engkau juga saat aku memutuskan untuk melanjutkan tinkat pendidikanku di kota lain, aku bisa melihat engaku sebenarnya berat untuk melepaskan putri kecilmu ini sendirian di kota orang. Aku bisa merasakan pelukan kaku darimu saat melepaskan aku pergi. Namun saat itu enggaku tidak sama sekali menunjukan air matamu, engkau memang memelukku kaku namun setelah itu engkau menepuk pundakku dan berkata “buat suatu kebanggan untuk keluargamu, nak”

            Lalu, setelah aku berada jauh darimu ibu tidak pernah absen untuk menelpon menanyakan keadaanku, bahkan beliau berkata kadang engkau yang mengingatkannya untuk menelpon menanyakan kabarku. Saat itu aku baru sadar dibalik kecuekanmu engkau sebenarnya menyimpan perhatian yang amat mendalam terhadap anakmu. Bahkan engaku selalu bertanya padaku “apakah disana ada yang mampu menjagamu, seperti ayah menjagamu?”

            Ayah, sampai saat ini belum ada yang mampu menggeser posisimu. Engaku yang selama ini mempu memberikan semangat padaku, karena engkau adalah orang selalu yakin bahwa putri kecilmu ini mampu untuk melewati apapun. Bahkan saat putri kecilmu ini terpuruk engkau hanya memelukku dan berkata “Ayah, yakin kalau kamu mampu mengatasinya” dan saat aku mempu melewatinya engku adalah orang pertama yang akan berucap bangga kepadaku dan bertepuk tangan paling keras atas hasil yang aku raih.

            Dulu, rasanya sangat mudah untuk bisa mnghabiskan waktu bersamu, bermain atau sekedar bercerita tentang kegiatanku sehari-hari kepadamu, namun sekarang rasanya sangat sulit, kesibukanmu dan kesibukanku semakin padat. Ayah, aku rindu menghabiskan waktu bersamamu. Aku rindu diperlakukan seperti anak kecil kembali seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Aku rindu engkau manjakan seperti akulah satu-satunya yang paling berharga di dunia ini.

            Ayah, jika nanti ada seorang laki-laki yang memintaku untuk menjadi istrinya, apakah aku mampu untuk berpisah denganmu, dan apakah engkau juga rela melepaskan aku? Karena pada saat itu artinya tugasmu telah selesai untuk menjagaku. Ayah aku belum siap jika itu terjadi. Karena bagiku engkaulah yang selamanya mampu menjagaku. Namun pasti dalam hatimu juga enggan melepaskan aku, tapi disisi lain engkau pasti akan berdoa dan berkata dalam dirimu sendiri bahwa sekarang putri kecilmu sudah dewasa dan sudah ada laki-laki yang setidaknya mampu menjaga putri kecilmu karena engkau pasti sudah tidak lagi mampu untuk menjaga putri kecilmu tersebut.
           
Ahhh ayah, melalui surat ini aku ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya untuk semua yang telah engaku berikan, terima kasih engkau telah mengajariku banyak hal sehingga putri kecilmu ini mampu bertahan, terima kasih untuk semua tetes keringat yang telah engaku berikan kepadaku. Terima kasih untuk semua hal yang terindah yang pernah engkau berikan kepadaku.

            Ayah, rasanya aku tidak mampu lagi untuk berucap dalam sebuah goresan pena diatas kertas ini, karena engkau adalah segalanya bagiku, engkau adalah super hero bagi putrimu, engkau juga guru dalam mengajarkan banyak hal, engaku juga teman bercerita, dan engkaulah laki-laki yang memberikan cinta tulusmu untuk putrimu.

            Ayah, mungkin tulisan jelek ini tidak sebanding dengan semua yang telah engkau berikan, tidak ayah aku tidak ingin memujimu, aku hanya sedang mengingat semua kenangan kita terdahulu, saat aku masih kecil. Ayah mungkin sekian surat dari putri kecilmu ini, semoga engkau berkenan untuk membacanya.


Dari,


Putri kecilmu yang bandel. 

No comments:

Post a Comment