Aku kembali melangkahkan kakiku di
suatu tempat yang masih menyimpan beberapa ceritaku dengannya. Dengan seseorang
yang dulunya sangat-sangat aku cintai, namun dia juga yang akhirnya pergi,
tanpa pernah memberiku alasan sebelum kepergiannya. Aku sering menikmati
waktuku sendiri di tempat ini, sebuah cafe yang terletak di salah satu sudut
kota Tangerang.
Aku masih mengingatnya, aku sering
duduk di sofa yang berada di ujung ruangan bersamanya, saling tertawa-tawa
hingga lupa waktu, terkadang beberapa cubitan kecilpun melayang dari tanganku
kearahnya. Aku suka meletakkan kepalku di pundaknya, meletakkan sejenak beban
pikiranku, mencoba membaginya bersamanya. Namun sekarang rasanya dia sudah
pergi, pergi jauh.. jauh dari kehidupanku.
Aku tidak memilih untuk duduk di
ujung ruangan yang memiliki sofa, karena memang kebetulan saat itu sedang penuh,
aku memilih untuk duduk di dekat jendela yang langsung menghadap ke arah jalan
raya. Mataku mengamati sekeliling sambil memflashback keadaan dimana dia dulu
masih disini, masih sekota denganku.
“permisi
mba, boleh duduk bareng disini?”
Aku
mengarahkan kepalaku menuju arah datangnya suara “oh kan masih banyak yang
kosong mas” ucapku sedikit heran
“iya
masih banyak yang kosong, tapi yang deket sama colokan ini doang mba, ga
keberatan kan share kursi bareng gua?”
Aku
melihat sekeliling, memang tempat duduk yang kosong dan memiliki akses dengan
listrik hanya kursiku, maka aku pun mengganggukankan kepalaku tanda setuju dan
langsung diikuti dia yang duduk di kursi depanku.
Tadinya
aku ingin membuka obrolan dengannya namun dari keadaan yang aku tangkap dia
sedang sibuk, kamera, laptop dan beberapa note kecil berserakan didepanku, yang
bisa aku tebak kemungkinan dia fotografer atau wartawan. Pria yang kini berada
didepanku memang sedikit mirip dengan dia namun pria ini lebih sedikit berisi,
sedangkan dia kurus. Kulit pria inipun lebih sawo matang namun senyumnya
mirip-mirip dengannnya. Ahh rasanya aku sudah terlalu jauh membandingkan.
Aku masih mengamatinya dengan ujung
mataku, melihatnya yang sibuk dengan laptop dan sesekali membuka catatan
kecilnya. Hingga dia menerima sebuah telpon yang membuatnya seketika panik dan
buru-buru merapikan semua peralatannya, bergegas bangkit dari duduknya. Aku
masih saja mengikuti gerakannya dari bangkit hingga dia berjalan menuju kasir,
hingga aku menagkap note kecilnya masih tertinggal di mejaku. Buru-buru kukejar
dia sebelum dia memacu sepeda motornya dan pergi.
“mass
masss ketinggalan nih” teriakku sambil terburu-buru keluar dari cafe
“masss
notenya ketinggalan” teriakku lebih keras lagi dan beruntung dia menyadarinya.
“ehh
mba, iya makasih yaa” ujarnya menerima note dariku sambil sedikit tersenyum
simpul dan memasukannya ke kantong kecil di tasnya lalu memacu motornya pergi.
***
Jika saja ibu masih ada, pasti tidak
harus aku yang menemani ayah untuk bertemu dengan reka-rekan bisnisnya. Namun
ibu sudah terlebih dahulu tenang berada di surga. Aku selalu benci jika harus
berada di ruangan yang penuh dengan orang. Ku biarkan ayah berbaur dengan
rekan-rekannya setelah sebelumnya bernasi-basi singkat untuk berkenalan bahwa
aku adalah anaknya, aku yang semakin bertambah dewasa, atau aku yang semakin
anggun, dan apapun itu. Aku lebih memilih melipir dan duduk menepi menikmati
minuman dingin yang disajikan sambil berharap ada seseorang yang aku kenal dan
menemaniku.
“aduhh”
ucapku saat seseorang menabrak bahuku pelan
“maaf,
maaf saya ga sengaja” ujarnya sambil membenarkan letak kameranya yang dia taruh
di bahu.
“lho,
lu yang waktu itu minta share bangku sama gua kan? Yang notenya ketinggalan? Lu
ngapain disini?” ujarku setelah mengamati wajahnya.
“eh
sempit dunia, kenalin gua Frans Yuditio” jawabnya sambil mengulurkan tangannya
dan kusambut. “Gua lagi tugas peliputan disini. Oiya thanks ya buat notenya
kalo ga waktu itu bisa mati gua, hahaha, oiya nama lu siapa?”
“ohhh
emang waktu itu lu kenapa sih buru-buru banget kayanya, gua Adinda Veronica,
panggil aja Dinda”
“gua
waktu itu tiba-tiba dapet telpon dari atasan gua harus balik ke kantor dan
nyerahin hasil liputan saat itu juga makanya gua buru-buru”
“ya
ampun pantesan aja lu kaya di kejar setan saat itu” ujarku sambil meletakkan
kedua tanganku di dada tanda ikut prihatin padanya. Namun malah disambut gelak
tawa olehnya.
“ga
usah lebay Din, gua cuma dipanggil bos, bukan di pecat”
Percakapan
itu pun mengalir, aku terkadang ikut dengannya jika dia harus mewawancarai
beberapa orang untuk membatu proses peliputannya. Dengannya aku merasakan “dia”
yang kembali muncul didekatku, walaupun aku tau tidak baik untuk
membanding-bandingkan atau menyama-nyamakan orang.
Hingga ayah mengajakku untuk
kembali, kita berdua belum juga bertukar kontak, bodohnya aku. Aku membiarkan
perkenalan semu yang berujung tidak akan pernah bertemu lagi. Namun lain halnya
jika semesta mengijinkan bertemu.
***
Aku masih mengutuk kebodohanku
semalam, membiarkan dia pergi begitu saja. Andai semalam aku tidak terlalu
gengsi untuk meminta kontak Frans mungkin akan lain ceritanya saat ini.
Aku masih memikirkan pertemuan
semalam hingga membuatku lupa bahwa hari ini ada jadwal kuliah yang harus aku
jalani. Bergegas aku membersihkan diriku dan merapikan hingga siap berangkat
kuliah. Aku mengambil tasku dan segera kupacu Brio merah yang menjadi kado
ulang tahunku beberapa bulan lalu dari Ayah.
Jarak antara rumah dan kampusku
tidaklah terlalu jauh, maklum kampus dan rumahku masih berada dalam satu
wilayah yang sama atau bisa dibilang di komplek yang sama. Setelah ku parkir
mobilku, dan bergegas memasuki ruang kelaku, namun yang ku temui hanyalah
kosong, aku tau ini hari pertama kuliah namun kenapa kosong? Tanya kudalam
hati.
“bu
Ananya sakit jadi kuliah hari ini di liburin”
Aku
mendengar suara seseorang yang tepat berada dibelakangku, dan membalikan badan
ingin mengucapkan terima kasih
“holaa
kita bertemu lagi ga usah bilang makasih gua juga baru tau ko” ujar seseorang
yang langsung menyambutku dengan rentetan kalimatnya.
“Frans?
Kita sekampus? Ko gua baru tau ya?” jawabku sedikit bingung bercampur senang.
“gua
juga baru tau, barusan aja taunya” ujarnya sambil tertawa “eh lu ada mata
kuliah lagi ga?”
“enggak
ko, kenapa?”
“makan
yuk, gua yakin lu pasti belum makan, yakan ?”
“hmm
boleh boleh, yuk”
Aku
mengikutinya berjalan menuju arah kantin, aku baru tahu ternyata aku dan Frans
satu kampus bahkan satu jurusan. Ahh aku akui dulu saat dia masih disini aku
memang menghabiskan seluruh waktunya bersamanya. Hanya dengan dia, dan mungkin
beberapa teman wanita, namun hanya sedikit.
“dulu
gua liat lu sering sama cowok deh, ya kan? Ko sekarang enggak kenapa? Putus?”
tanyanya membuka pertanyaan
Aku
sedikit tersedak mendengar petanyaan polos darinya namun berusaha aku
menjawabnya dengan biasa “ahh Gilang ya? Duh ga putus lah orang kita sahabatan
cuma enam bulan yang lalu dia harus ikut pindah ortunya ke Amerika, so kuliah
dia juga pindah deh”
“ohhhh
gituuuu” jawab Frans sambil mengangguk-angguk “eh lu punya pacar ga? Jangan
sampe gua ngajak lu makan bareng tiba-tiba nanti gua pulang ga selamat
gara-gara pacar lu”
Aku
bengong mendengar ucapannya yang beruntun, ini terdengan lebay namun lucu “ehh
ya kali. Enggak ko enggak gua ga punya pacar”
“enggak
satu ya gua rasa mah, ga mungkin banget cewek yang masuk kategori goodlooking
ga punya pacar. Mubazir dong cantiknya”
“APAAN
SIH FRANS!!!” ucapku sambil sambil memukul pelan bahunya. “ga ada hubungannya
lagian males juga pacaran.
“kenapa
ko males sih pacaran?” ucap tanya Frans lagi
“males
aja, males harus kenalan lagi, males harus pdkt lagi, males harus nantinya
kalau putus nangis-nangis lagi, males udah percaya sama orang dan nantinya
bakalan disakitin” ucapku sambil sedikit menerawang.
“lu
pernah jatuh dari sepeda ga? Atau motor gitu?”
“pernahlah,
kenapa lu nanya gitu?” tanyaku penasaran
“kalau
lu tau rasanya jatuh dari sepeda itu ga enak, kenapa lu mau ngulangin lagi naik
sepeda. Ngulangin lagi jatuh kalau misalnya nanti harus jatuh”
“ini
beda cerita Frans” ucapku perlahan, dan beruntung makanan yang kami pesan
datang hingga masing-masing dari kami sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut
sambil bermain dengan pikiran-pikiran kami sendiri.
Aku mengakui aku sudah terlalu malas
harus berkenalan dengan orang baru, harus belajar percaya padanya hingga
akhirnya berakhir begitu saja.
***
“kenapa
sih lu harus ikut pindah papa, kenapa lu ga lanjutin aja kuliah disini. Nanti
setelah lulus baru lu nyusul papa ke Amrik Lang.” Ucapku sambil berdiri di tepi
ranjangnya.
“Dindaaa
ayolah gua cuma pindah negara aja ko, ga pindah dunia ko. Lu masih bisa
ngehubungin gua. Gua janji walaupun kita ngalamin perbedaan waktu, buatlu waktu
gua selalu ada Din” ucap Gilang sambil memasukkan barangnya ke dalam kardus.
Aku
menatap punggung Gilang dengan tatapan yang aku sendiri tidak bisa
menggambarkannya, tatapan antara aku takut kehilangan namun aku juga harus tau
diri aku bukan siapa-siapanya bahkan pacarnya aja ikhlas melepas Gilang pergi,
kenapa aku yang notabennya hanya sahabatnya harus menahannya pergi.
Gilang
menghampiriku dan memelukku perlahan “gua tau lu pasti kehilangan sosok gua banget,
tapi mau ga mau gua emang harus pindah Din” ucapnya sambil melepaskan
pelukannya dariku.
“lu
bakalan kangen gua ga?” ucapku tiba-tiba
“enggak
sih kayanya kan ada media sosial, lagain bosen juga kali diikutin lu tiap saat
dikampus, dirumah, aaarrrgggghhh lu udh kaya setan ada dimana-mana” ucap Gilang
sambil mengacak-cacak rambutnya sendiri.
“ha?”
aku menatap bengong kalimat yang baru saja keluar darinya
“hahahaha
ya enggaklah, gua bakalan kangennnn banget sama lu, soalnya ga bakalan ada lagi
cewek yang sepemikiran sam gua, yang bisa gua ajak kesana kemari dan yang
penting bisa gua repotin” ucap Gilang sambil mengacak-acak rambutku.
“Makasih
banget yaa Din, lu udah selalu jadi sahabat terbaik buat gua” ucap Gilang
sambil menatapku dalam.
Aku
hanya bisa menghampur dalam pelukannya, perpisahan ini lebih menyakitkan karena
ceritanya pun belum pernah dimulai. Namun sudah harus berakhir.
***
“Dinda...
oyyyy”
Aku
tersentak dalam lamunanku “ehh yaa”
“makan
aja ngelamun lho, nanti malem ada acara ga?” tanya Frans kepadaku.
“malem
ya? Enggak ko kenapa?”
“temenin
gua yaa, kepameran foto temen gua, mau ga?”
Aku
menimang-nimang permintannya, namun akhirnya ku iyakan saja permintaan itu.
Aku melirik jam dinding yang terpajang
di kamarku, masih menunjukkan pukul tiga sore, sedangkan Frans berjanji akan
menjemput pukul empat sore. Untuk pergi dengan Frans rasanya aku lebih memilih
gaya casual karena pembawaan Frans yang
santai membuatku akan terasa aneh jika aku menggunakan gaya feminim seperti yang
kulakukan jika aku pergi dengan Gilang.
Tepat pukul empat Frans sudah berada di depan
pagar rumahku, aku bisa melihatnya dari jendela kamarku. Dia sudah disana
dengan motor maticnya, yang jauh berbeda degan Gilang yang jarang sekali mau
menggunakan motor. Aku bergegas turun dan mengambil helm yang berada di ruang
keluarga serta meninggalkan memo untuk ayah, jika nanti dia pulang tidak
menemukan putri kecilnya di rumah.
“sorry
lama ya nunggunya” ucapku saat aku sudah berada di depan pagar rumahku.
“gapapa
santai aja” jawab Frans sambil mengamatiku dari ujung kaki ke ujung kepala
“kenapa
sih? Ada yang salah sama gua?” tanyaku sedikit aneh diperhatikan seperti itu.
“gapapa
juga, cuma lu cantik dengan gaya simple lu kaya gini, suka. Ayo naik, nanti kemaleman”
Aku
sedikit tersipu mendengarnya, maklum baru ini aku menggunakan jeans panjang di
padu kaos putih press body dan syal yang melingkar di leherku, ini jauh dari
gaya yang sering aku pakai kekampus yang lebih sering menggunakan dress atau
rok untuk menimbukan kesan feminim.
“makasih”
ucapku sambil menaiki motornya.
Pameran
fotografi yang di adakan olehh temannya berada di sebuah cafe di kemang, jika
menggunakan mobil mungkin bisa lebih cepat sampai karena munggunkan tol namun
sekarang dia menggunakan motor dan mungkin ini perjalannya terjauhnya
menggunakan motor dan dengan orang yang baru saja dia kenal dan bahkan belum
juga bertukar kontak dengannya. Ini aneh namun ada perasaan lain yang menyeruak
di dalam tubuhku yang aku sendiri tidak bisa menolaknya, aku mulai nyaman
dengan Frans.
Perjalanan
hampir dua jam membuatku sedikit lelah namun terbayar saat aku melihat tampak
luar dari pameran fotografi tersebut rasanya tidak akan mengecewakan, warna
yang dominan adalah hitam dan putih.
“gimana
perjalannya capek?” ucap Frans saat aku buru turun dari motornya
“yaaa
bisa dibilang gitulah yaa” ucapku sambil menelan ludah.
“udah
gua tebak, sorry yaa gua bisa aja si tadi bawa mobil gua cuma gua pengen aja
ngajak lu naik motor hahaha” jawab Frans sambil menacungkan jarinya membentuk
tanda peace
“gapapa
kali, malah gua baru ini naik motor jauh, dan seruuu ahaahahah”
“yaudah
yuk masuk” ujar Frans sambil menggandeng tanganku untuk memasuki pameran
fotografi tersebut.
Aku
mangamati setiap detail foto yang di dicoba di tunjukkan dalam pameran ini,
temanya sedikit banyak menyangkut tentang cinta. Beberapa foto menunjukan
tentang sepasang kekasih.
“menurut
jatuh cinta itu enak ga?” suara Frans yang tiba disampingku dan merangkulkan
tangannya di pundakku
“ga
enak, tapi nagih. Kaya sambel kali yaa” ucapku asal.
“salah
jatuh cinta itu enak Din, saat lu jatuh cinta ada hormon di tubuh lu yang
menyeruak keluar, dan dia ngasih rasa bahagia di tubuh lu. Kaya misalnya nih
saat lu buka mata di handphone lu ada notification darinya pasti lu bakalan
senyum-senyum sendiri kan?”
“iyaaa,
jatuh cinta itu enak kalau cinta itu pasti antara hitam atau putih. Cinta atau
ga cinta. Bukannya yang ga pasti, ga jelas”
“maksudnya
abu-abu?”
“iya
Frans, ga selamanya cinta itu harus hitam atau harus putih. Ga selamanya cinta
itu senang atau sedih, ga selamanya juga jatuh cinta itu pasti”
“berarti
itu bukan cinta Din, karena kalau cinta ya harus bisa dong milih. Harus bisa
ngasih kepastian juga bukan malah digantung kaya jemuran”
“tapi
ada beberapa orang yang lebih milih menggantukan dari pada ngasih kepastian
Frans, ngebiarin salah satunya bertanya-tanya apakah dia juga jatuh cinta sama
gua? Apakah dia juga ngerasain rasa yang sama kaya gua? Apa gua ga bakalan
jatuh cinta sendirian?”
“kalau
lu nemu orang kaya gitu artinya, dia ga cinta lu. Cinta itu pasti dia bakalan
ngasih tau lu apakah dia cinta atau enggak. Dan saat dia bilang enggak lu juga
harus terima bukan malah merangkai sendiri, menyimpul perandaian lu dan
menampik fakta yang udah dia paparkan kalau dia ga cinta sama lu”
Aku
membenamkan wajahku ke dalam dua telapak tanganku, ucapan Frans barusan
menamparku sangat keras, telampau keras hingga aku menyadari bahwa akulah yang
selama ini buta, akulah yang selama ini terlalu menutup kedua telingaku dari
semua ucapan Gilang, dan aku jugalah yang selama ini menutup hatiku dari siapun
itu. Menutupnya rapat berharap Gilanglah yang nantinya akan mengisinya yang
agan menempati ruang dalam hatiku dan berada disana selamanya. Namun aku lupa
bahwa selama ini Gilang mungkin tak pernah aada rasa paadaku.
Aku dapat merasakan bulir air mataku
perlahan membasahi pipiku, dan aku juga dapat merasakan tubuhku bergerak
perlahan di dekap oleh seseorang yang aku tau itu Frans. Aku dapat merasakan
hangatnya pelukannya, aku merasakan bahwa aku tenang berada didalam pelukannya.
“Gua
tau lu masih ga sepenuhnya bisa ngelupain Gilang, tapi boleh ga izinin gua
masuk ke kehidupan lu?” ucap Frans sambil melepaskan pelukannya dariku.
“gua
ga bisa Frans, hati gua masih berantakan. Nantinya lu bakalan ribet ngerapiinnya”
“kita
rapiin bareng-bareng. Toh lu selama ini ngerapiin sendiri ga rapi-rapikan?”
“tapi
gua takut nyakitin lu Frans” ucapku hato-hati
“ga
ga langsung minta lu jadi pacar gua Dinda, gua Cuma minta izinin gua masuk
kekehidupan lu terlebih dahulu. Karena gua juga tau diri kita baru kenal
beberapa hari yang lalu. Tapi gua akui gua tertarik sama lu”
Aku
terdiam memandangnya yang masih berdiri didepannku. Rasanya sedikit sulit
membiarkan ada ornag lain yang mulai masuk ke hidupku namun aku juga tidak
munafik bahwa aku juga tertarik dengannya.
Entah
dengan dorongan dari mana aku menghampurkan tubuhku kedalam pelukannya “masuk
Frans, masuklah ke kehidupan gua, bantuin gua ngerapiin semuanya. Dan bantu gua
menyiapkan tempat terbaik buat lu di dalam hati gua”
Frans
membals pelukanku perlahan, “iya gua janji akan bantuin lu, makasih udah
ngizinin gua masuk ke dalam hidup lu”
Aku
kembali merasakan hangatnya pelukan ini pelukan hangat yang aku rasakan selain
dari pelukan ayahku, pelukan yang nantinya mungkin akan menjadi tempatku
berpulang dari letihnya hari-hariku. Terima kasih Tuhan engkau mengirimkan
seseorang untukku saat ini, semoga dia akan menjadi orang yang tepat untukku.
No comments:
Post a Comment