Friday, August 28, 2015

Menemukanmu

       



     Aku kembali melangkahkan kakiku di suatu tempat yang masih menyimpan beberapa ceritaku dengannya. Dengan seseorang yang dulunya sangat-sangat aku cintai, namun dia juga yang akhirnya pergi, tanpa pernah memberiku alasan sebelum kepergiannya. Aku sering menikmati waktuku sendiri di tempat ini, sebuah cafe yang terletak di salah satu sudut kota Tangerang.

            Aku masih mengingatnya, aku sering duduk di sofa yang berada di ujung ruangan bersamanya, saling tertawa-tawa hingga lupa waktu, terkadang beberapa cubitan kecilpun melayang dari tanganku kearahnya. Aku suka meletakkan kepalku di pundaknya, meletakkan sejenak beban pikiranku, mencoba membaginya bersamanya. Namun sekarang rasanya dia sudah pergi, pergi jauh.. jauh dari kehidupanku.


            Aku tidak memilih untuk duduk di ujung ruangan yang memiliki sofa, karena memang kebetulan saat itu sedang penuh, aku memilih untuk duduk di dekat jendela yang langsung menghadap ke arah jalan raya. Mataku mengamati sekeliling sambil memflashback keadaan dimana dia dulu masih disini, masih sekota denganku.

“permisi mba, boleh duduk bareng disini?”

Aku mengarahkan kepalaku menuju arah datangnya suara “oh kan masih banyak yang kosong mas” ucapku sedikit heran

“iya masih banyak yang kosong, tapi yang deket sama colokan ini doang mba, ga keberatan kan share kursi bareng gua?”

Aku melihat sekeliling, memang tempat duduk yang kosong dan memiliki akses dengan listrik hanya kursiku, maka aku pun mengganggukankan kepalaku tanda setuju dan langsung diikuti dia yang duduk di kursi depanku.

Tadinya aku ingin membuka obrolan dengannya namun dari keadaan yang aku tangkap dia sedang sibuk, kamera, laptop dan beberapa note kecil berserakan didepanku, yang bisa aku tebak kemungkinan dia fotografer atau wartawan. Pria yang kini berada didepanku memang sedikit mirip dengan dia namun pria ini lebih sedikit berisi, sedangkan dia kurus. Kulit pria inipun lebih sawo matang namun senyumnya mirip-mirip dengannnya. Ahh rasanya aku sudah terlalu jauh membandingkan.

            Aku masih mengamatinya dengan ujung mataku, melihatnya yang sibuk dengan laptop dan sesekali membuka catatan kecilnya. Hingga dia menerima sebuah telpon yang membuatnya seketika panik dan buru-buru merapikan semua peralatannya, bergegas bangkit dari duduknya. Aku masih saja mengikuti gerakannya dari bangkit hingga dia berjalan menuju kasir, hingga aku menagkap note kecilnya masih tertinggal di mejaku. Buru-buru kukejar dia sebelum dia memacu sepeda motornya dan pergi.

“mass masss ketinggalan nih” teriakku sambil terburu-buru keluar dari cafe

“masss notenya ketinggalan” teriakku lebih keras lagi dan beruntung dia menyadarinya.

“ehh mba, iya makasih yaa” ujarnya menerima note dariku sambil sedikit tersenyum simpul dan memasukannya ke kantong kecil di tasnya lalu memacu motornya pergi.

***
  
            Jika saja ibu masih ada, pasti tidak harus aku yang menemani ayah untuk bertemu dengan reka-rekan bisnisnya. Namun ibu sudah terlebih dahulu tenang berada di surga. Aku selalu benci jika harus berada di ruangan yang penuh dengan orang. Ku biarkan ayah berbaur dengan rekan-rekannya setelah sebelumnya bernasi-basi singkat untuk berkenalan bahwa aku adalah anaknya, aku yang semakin bertambah dewasa, atau aku yang semakin anggun, dan apapun itu. Aku lebih memilih melipir dan duduk menepi menikmati minuman dingin yang disajikan sambil berharap ada seseorang yang aku kenal dan menemaniku.

“aduhh” ucapku saat seseorang menabrak bahuku pelan

“maaf, maaf saya ga sengaja” ujarnya sambil membenarkan letak kameranya yang dia taruh di bahu.

“lho, lu yang waktu itu minta share bangku sama gua kan? Yang notenya ketinggalan? Lu ngapain disini?” ujarku setelah mengamati wajahnya.

“eh sempit dunia, kenalin gua Frans Yuditio” jawabnya sambil mengulurkan tangannya dan kusambut. “Gua lagi tugas peliputan disini. Oiya thanks ya buat notenya kalo ga waktu itu bisa mati gua, hahaha, oiya nama lu siapa?”

“ohhh emang waktu itu lu kenapa sih buru-buru banget kayanya, gua Adinda Veronica, panggil aja Dinda”

“gua waktu itu tiba-tiba dapet telpon dari atasan gua harus balik ke kantor dan nyerahin hasil liputan saat itu juga makanya gua buru-buru”

“ya ampun pantesan aja lu kaya di kejar setan saat itu” ujarku sambil meletakkan kedua tanganku di dada tanda ikut prihatin padanya. Namun malah disambut gelak tawa olehnya.

“ga usah lebay Din, gua cuma dipanggil bos, bukan di pecat”

Percakapan itu pun mengalir, aku terkadang ikut dengannya jika dia harus mewawancarai beberapa orang untuk membatu proses peliputannya. Dengannya aku merasakan “dia” yang kembali muncul didekatku, walaupun aku tau tidak baik untuk membanding-bandingkan atau menyama-nyamakan orang.

            Hingga ayah mengajakku untuk kembali, kita berdua belum juga bertukar kontak, bodohnya aku. Aku membiarkan perkenalan semu yang berujung tidak akan pernah bertemu lagi. Namun lain halnya jika semesta mengijinkan bertemu.

***

            Aku masih mengutuk kebodohanku semalam, membiarkan dia pergi begitu saja. Andai semalam aku tidak terlalu gengsi untuk meminta kontak Frans mungkin akan lain ceritanya saat ini.

            Aku masih memikirkan pertemuan semalam hingga membuatku lupa bahwa hari ini ada jadwal kuliah yang harus aku jalani. Bergegas aku membersihkan diriku dan merapikan hingga siap berangkat kuliah. Aku mengambil tasku dan segera kupacu Brio merah yang menjadi kado ulang tahunku beberapa bulan lalu dari Ayah.

            Jarak antara rumah dan kampusku tidaklah terlalu jauh, maklum kampus dan rumahku masih berada dalam satu wilayah yang sama atau bisa dibilang di komplek yang sama. Setelah ku parkir mobilku, dan bergegas memasuki ruang kelaku, namun yang ku temui hanyalah kosong, aku tau ini hari pertama kuliah namun kenapa kosong? Tanya kudalam hati.

“bu Ananya sakit jadi kuliah hari ini di liburin”

Aku mendengar suara seseorang yang tepat berada dibelakangku, dan membalikan badan ingin mengucapkan terima kasih

“holaa kita bertemu lagi ga usah bilang makasih gua juga baru tau ko” ujar seseorang yang langsung menyambutku dengan rentetan kalimatnya.

“Frans? Kita sekampus? Ko gua baru tau ya?” jawabku sedikit bingung bercampur senang.

“gua juga baru tau, barusan aja taunya” ujarnya sambil tertawa “eh lu ada mata kuliah lagi ga?”

“enggak ko, kenapa?”

“makan yuk, gua yakin lu pasti belum makan, yakan ?”

“hmm boleh boleh, yuk”

Aku mengikutinya berjalan menuju arah kantin, aku baru tahu ternyata aku dan Frans satu kampus bahkan satu jurusan. Ahh aku akui dulu saat dia masih disini aku memang menghabiskan seluruh waktunya bersamanya. Hanya dengan dia, dan mungkin beberapa teman wanita, namun hanya sedikit.

“dulu gua liat lu sering sama cowok deh, ya kan? Ko sekarang enggak kenapa? Putus?” tanyanya membuka pertanyaan

Aku sedikit tersedak mendengar petanyaan polos darinya namun berusaha aku menjawabnya dengan biasa “ahh Gilang ya? Duh ga putus lah orang kita sahabatan cuma enam bulan yang lalu dia harus ikut pindah ortunya ke Amerika, so kuliah dia juga pindah deh”

“ohhhh gituuuu” jawab Frans sambil mengangguk-angguk “eh lu punya pacar ga? Jangan sampe gua ngajak lu makan bareng tiba-tiba nanti gua pulang ga selamat gara-gara pacar lu”

Aku bengong mendengar ucapannya yang beruntun, ini terdengan lebay namun lucu “ehh ya kali. Enggak ko enggak gua ga punya pacar”

“enggak satu ya gua rasa mah, ga mungkin banget cewek yang masuk kategori goodlooking ga punya pacar. Mubazir dong cantiknya”
 
“APAAN SIH FRANS!!!” ucapku sambil sambil memukul pelan bahunya. “ga ada hubungannya lagian males juga pacaran.

“kenapa ko males sih pacaran?” ucap tanya Frans lagi

“males aja, males harus kenalan lagi, males harus pdkt lagi, males harus nantinya kalau putus nangis-nangis lagi, males udah percaya sama orang dan nantinya bakalan disakitin” ucapku sambil sedikit menerawang.

“lu pernah jatuh dari sepeda ga? Atau motor gitu?”

“pernahlah, kenapa lu nanya gitu?” tanyaku penasaran

“kalau lu tau rasanya jatuh dari sepeda itu ga enak, kenapa lu mau ngulangin lagi naik sepeda. Ngulangin lagi jatuh kalau misalnya nanti harus jatuh”

“ini beda cerita Frans” ucapku perlahan, dan beruntung makanan yang kami pesan datang hingga masing-masing dari kami sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut sambil bermain dengan pikiran-pikiran kami sendiri.

            Aku mengakui aku sudah terlalu malas harus berkenalan dengan orang baru, harus belajar percaya padanya hingga akhirnya berakhir begitu saja.

***

“kenapa sih lu harus ikut pindah papa, kenapa lu ga lanjutin aja kuliah disini. Nanti setelah lulus baru lu nyusul papa ke Amrik Lang.” Ucapku sambil berdiri di tepi ranjangnya.

“Dindaaa ayolah gua cuma pindah negara aja ko, ga pindah dunia ko. Lu masih bisa ngehubungin gua. Gua janji walaupun kita ngalamin perbedaan waktu, buatlu waktu gua selalu ada Din” ucap Gilang sambil memasukkan barangnya ke dalam kardus.

Aku menatap punggung Gilang dengan tatapan yang aku sendiri tidak bisa menggambarkannya, tatapan antara aku takut kehilangan namun aku juga harus tau diri aku bukan siapa-siapanya bahkan pacarnya aja ikhlas melepas Gilang pergi, kenapa aku yang notabennya hanya sahabatnya harus menahannya pergi.

Gilang menghampiriku dan memelukku perlahan “gua tau lu pasti kehilangan sosok gua banget, tapi mau ga mau gua emang harus pindah Din” ucapnya sambil melepaskan pelukannya dariku.

“lu bakalan kangen gua ga?” ucapku tiba-tiba

“enggak sih kayanya kan ada media sosial, lagain bosen juga kali diikutin lu tiap saat dikampus, dirumah, aaarrrgggghhh lu udh kaya setan ada dimana-mana” ucap Gilang sambil mengacak-cacak rambutnya sendiri.

“ha?” aku menatap bengong kalimat yang baru saja keluar darinya

“hahahaha ya enggaklah, gua bakalan kangennnn banget sama lu, soalnya ga bakalan ada lagi cewek yang sepemikiran sam gua, yang bisa gua ajak kesana kemari dan yang penting bisa gua repotin” ucap Gilang sambil mengacak-acak rambutku.

“Makasih banget yaa Din, lu udah selalu jadi sahabat terbaik buat gua” ucap Gilang sambil menatapku dalam.
Aku hanya bisa menghampur dalam pelukannya, perpisahan ini lebih menyakitkan karena ceritanya pun belum pernah dimulai. Namun sudah harus berakhir.

***

“Dinda... oyyyy”

Aku tersentak dalam lamunanku “ehh yaa”

“makan aja ngelamun lho, nanti malem ada acara ga?” tanya Frans kepadaku.

“malem ya? Enggak ko kenapa?”

“temenin gua yaa, kepameran foto temen gua, mau ga?”

Aku menimang-nimang permintannya, namun akhirnya ku iyakan saja permintaan itu.

Aku melirik jam dinding yang terpajang di kamarku, masih menunjukkan pukul tiga sore, sedangkan Frans berjanji akan menjemput pukul empat sore. Untuk pergi dengan Frans rasanya aku lebih memilih gaya casual  karena pembawaan Frans yang santai membuatku akan terasa aneh jika aku menggunakan gaya feminim seperti yang kulakukan jika aku pergi dengan Gilang.

             Tepat pukul empat Frans sudah berada di depan pagar rumahku, aku bisa melihatnya dari jendela kamarku. Dia sudah disana dengan motor maticnya, yang jauh berbeda degan Gilang yang jarang sekali mau menggunakan motor. Aku bergegas turun dan mengambil helm yang berada di ruang keluarga serta meninggalkan memo untuk ayah, jika nanti dia pulang tidak menemukan putri kecilnya di rumah.

“sorry lama ya nunggunya” ucapku saat aku sudah berada di depan pagar rumahku.

“gapapa santai aja” jawab Frans sambil mengamatiku dari ujung kaki ke ujung kepala

“kenapa sih? Ada yang salah sama gua?” tanyaku sedikit aneh diperhatikan seperti itu.

“gapapa juga, cuma lu cantik dengan gaya simple lu kaya gini, suka. Ayo naik, nanti kemaleman”

Aku sedikit tersipu mendengarnya, maklum baru ini aku menggunakan jeans panjang di padu kaos putih press body dan syal yang melingkar di leherku, ini jauh dari gaya yang sering aku pakai kekampus yang lebih sering menggunakan dress atau rok untuk menimbukan kesan feminim.

“makasih” ucapku sambil menaiki motornya.

      Pameran fotografi yang di adakan olehh temannya berada di sebuah cafe di kemang, jika menggunakan mobil mungkin bisa lebih cepat sampai karena munggunkan tol namun sekarang dia menggunakan motor dan mungkin ini perjalannya terjauhnya menggunakan motor dan dengan orang yang baru saja dia kenal dan bahkan belum juga bertukar kontak dengannya. Ini aneh namun ada perasaan lain yang menyeruak di dalam tubuhku yang aku sendiri tidak bisa menolaknya, aku mulai nyaman dengan Frans.

           Perjalanan hampir dua jam membuatku sedikit lelah namun terbayar saat aku melihat tampak luar dari pameran fotografi tersebut rasanya tidak akan mengecewakan, warna yang dominan adalah hitam dan putih.

“gimana perjalannya capek?” ucap Frans saat aku buru turun dari motornya

“yaaa bisa dibilang gitulah yaa” ucapku sambil menelan ludah.

“udah gua tebak, sorry yaa gua bisa aja si tadi bawa mobil gua cuma gua pengen aja ngajak lu naik motor hahaha” jawab Frans sambil menacungkan jarinya membentuk tanda peace

“gapapa kali, malah gua baru ini naik motor jauh, dan seruuu ahaahahah”

“yaudah yuk masuk” ujar Frans sambil menggandeng tanganku untuk memasuki pameran fotografi tersebut.

Aku mangamati setiap detail foto yang di dicoba di tunjukkan dalam pameran ini, temanya sedikit banyak menyangkut tentang cinta. Beberapa foto menunjukan tentang sepasang kekasih.

“menurut jatuh cinta itu enak ga?” suara Frans yang tiba disampingku dan merangkulkan tangannya di pundakku

“ga enak, tapi nagih. Kaya sambel kali yaa” ucapku asal.

“salah jatuh cinta itu enak Din, saat lu jatuh cinta ada hormon di tubuh lu yang menyeruak keluar, dan dia ngasih rasa bahagia di tubuh lu. Kaya misalnya nih saat lu buka mata di handphone lu ada notification darinya pasti lu bakalan senyum-senyum sendiri kan?”

“iyaaa, jatuh cinta itu enak kalau cinta itu pasti antara hitam atau putih. Cinta atau ga cinta. Bukannya yang ga pasti, ga jelas”

“maksudnya abu-abu?”

“iya Frans, ga selamanya cinta itu harus hitam atau harus putih. Ga selamanya cinta itu senang atau sedih, ga selamanya juga jatuh cinta itu pasti”

“berarti itu bukan cinta Din, karena kalau cinta ya harus bisa dong milih. Harus bisa ngasih kepastian juga bukan malah digantung kaya jemuran”

“tapi ada beberapa orang yang lebih milih menggantukan dari pada ngasih kepastian Frans, ngebiarin salah satunya bertanya-tanya apakah dia juga jatuh cinta sama gua? Apakah dia juga ngerasain rasa yang sama kaya gua? Apa gua ga bakalan jatuh cinta sendirian?”

“kalau lu nemu orang kaya gitu artinya, dia ga cinta lu. Cinta itu pasti dia bakalan ngasih tau lu apakah dia cinta atau enggak. Dan saat dia bilang enggak lu juga harus terima bukan malah merangkai sendiri, menyimpul perandaian lu dan menampik fakta yang udah dia paparkan kalau dia ga cinta sama lu”

Aku membenamkan wajahku ke dalam dua telapak tanganku, ucapan Frans barusan menamparku sangat keras, telampau keras hingga aku menyadari bahwa akulah yang selama ini buta, akulah yang selama ini terlalu menutup kedua telingaku dari semua ucapan Gilang, dan aku jugalah yang selama ini menutup hatiku dari siapun itu. Menutupnya rapat berharap Gilanglah yang nantinya akan mengisinya yang agan menempati ruang dalam hatiku dan berada disana selamanya. Namun aku lupa bahwa selama ini Gilang mungkin tak pernah aada rasa paadaku.
            Aku dapat merasakan bulir air mataku perlahan membasahi pipiku, dan aku juga dapat merasakan tubuhku bergerak perlahan di dekap oleh seseorang yang aku tau itu Frans. Aku dapat merasakan hangatnya pelukannya, aku merasakan bahwa aku tenang berada didalam pelukannya.

“Gua tau lu masih ga sepenuhnya bisa ngelupain Gilang, tapi boleh ga izinin gua masuk ke kehidupan lu?” ucap Frans sambil melepaskan pelukannya dariku.

“gua ga bisa Frans, hati gua masih berantakan. Nantinya lu bakalan ribet ngerapiinnya”

“kita rapiin bareng-bareng. Toh lu selama ini ngerapiin sendiri ga rapi-rapikan?”

“tapi gua takut nyakitin lu Frans” ucapku hato-hati

“ga ga langsung minta lu jadi pacar gua Dinda, gua Cuma minta izinin gua masuk kekehidupan lu terlebih dahulu. Karena gua juga tau diri kita baru kenal beberapa hari yang lalu. Tapi gua akui gua tertarik sama lu”

Aku terdiam memandangnya yang masih berdiri didepannku. Rasanya sedikit sulit membiarkan ada ornag lain yang mulai masuk ke hidupku namun aku juga tidak munafik bahwa aku juga tertarik dengannya.

Entah dengan dorongan dari mana aku menghampurkan tubuhku kedalam pelukannya “masuk Frans, masuklah ke kehidupan gua, bantuin gua ngerapiin semuanya. Dan bantu gua menyiapkan tempat terbaik buat lu di dalam hati gua”

Frans membals pelukanku perlahan, “iya gua janji akan bantuin lu, makasih udah ngizinin gua masuk ke dalam hidup lu”

Aku kembali merasakan hangatnya pelukan ini pelukan hangat yang aku rasakan selain dari pelukan ayahku, pelukan yang nantinya mungkin akan menjadi tempatku berpulang dari letihnya hari-hariku. Terima kasih Tuhan engkau mengirimkan seseorang untukku saat ini, semoga dia akan menjadi orang yang tepat untukku.

No comments:

Post a Comment