Thursday, October 15, 2015

Jangan Cintai Aku


“Reina? Reina kan? Ngapain lo sendirian disini?”

Reina menengokkan kepalanya ke arah suara yang menyapanya “eh elo Dan, ini lagi nungguin hujan. Males gua kalo harus balik hujan-hujanan” jawabnya sambil sedikit terkekeh menyembunyikan perasaannya yang senang.

“oh yaudah sini gua temenin, kasian kaya jomblo”

“ehh sialan! Gua ga sehina itu kali udah lu sana deh, samanya kaya Andre bisanya ngeledekin doang” jawab Reina sambil bersungut-sungut

“hahahaha bercanda Rei. Serius-serius amat sih jadi orang. Tar muka lu tua baru tau rasa deh”


***
“Dre lu tau kan, sebelumnya gua deket sama orang pas gua cerita sama salah satu temen gua, ga lama dia tau-tau ngilang gitu aja. Gua capek deket sama banyak cowok tapi ujung-ujungnya ga pernah jadi. Gua capek terus-terusan di cap jelek sama temen-temen kelas”

“Rei, ini gua! ga mungkin juga gua bawel emang mulut gua kaya cewek apa?”

“gua deket sama temen lu, sorry”

“cieee tukan sama Wildan, iyalah good looking ya Rei”

“Dre, gua ga butuh itu. Sorry kalo selama ini gua nutupin dari lu, gua cuma takut gua yang terlalu ngarep sama dia. Gua yang salah ngartiin semua kebaikannya. Dan gua yang nanti pada akhirnya cuma jatuh cinta sendirian”

***

Sesuatu yang akan membawamu pergi jauh, nantinya juga akan menjadi sesuatu yang membuatmu kembali lagi. Jika diibaratkan mungkin hal itu seperti pedang bermata dua. Satu akan membuat mu pergi dan yang satu lagi membuatmu kembali, hal itu bernama kenangan dan luka.
Reina buru-buru menggelengkan kepalanya berharap ingatan yang baru saja menyeruak di otaknya cepat-cepat menghilang. Kenangan yang membuatnya terpaksa mengingat kembali, namun luka membuatnya harus pergi jauh sebelum kembali tersakiti. Bunyi hujan di luar sana sepertinya cukup sukses membuat otaknya kembali memutar semua memori yang sebelumnya sudah dia simpan erat dalam otaknya.
            Kejadian itu rasanya baru kemarin terjadi, pertemuan pertama mereka berdua, di tempat yang sama, disaat hujan juga, dan sekarang, rasanya hal itu sudah seperti mimpi yang baru saja terjadi. Dimana pemiliknya baru saja terbangun dari tidurnya.

“Rei, udah lumutan belum?”

Sesosok pria dengan kemeja flanel biru menghampiri meja Reina, beberapa peluh tergambar jelas dari wajahnya namun sebisa mungkin dia sembunyikan dengan senyum dan tawanya.

“udah, sampe baterai hp gua dari kosong penuh kosong lagi nih sekarang” ucap Reina sambil memperlihatkan wajah betenya, bete karena proses menunggunya membuatnya harus kembali mengingat hal yang ingin dia lupakan.

“lebai kan lu mah, gua kan cuma telat hmm” ujar Andre santai sambil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya “cuma telat satu setengah jam ko, ga lama kan??”

“Andreee lu tuh yaaa, satu setengah jam dibilang cuma, kalo ibarat gua lagi kuliah dapet kayanya dua sks” Reina mulai menunjukkan sikap kesalnya kepada Andre

“Santai Rei, santai kalem yaaa” ucap Andre menenangkan sambil dia pun duduk di depan Reina. “lu kenapa deh? PMS ya?”

“Dre, gua mendadak kangen Wildan” kata itu terlontar begitu saja dari bibir Reina “lu tahu Dre, dulu di tempat ini pertama kalinya gua ngobrol berdua sama Wildan, nungguin hujan berdua, nemenin gua yang ga bisa balik karena hujan dan gua masih pengen ngopi sambil ngeliatin danau, dan nungguin lu tadi membuat kenangan itu balik lagi di otak gua” ucap Reina pasrah.

Semenjak dia pergi terakhir dengan Wildan dan dia mengetahui bahwa Wildan masih belum bisa sepenuhnya melupakannya mantannya. Reina lebih memilih untuk melepaskan Wildan mencoba melupakan bahwa Wildan mungkin tidak terjangkau olehnya. Dan Reina sudah menceritakan keseluruhannya pada Andre. Baginya saat ini hanya Andre yang bisa mengerti dunianya.

“kalau lu kangen hubungin aja Wildannya Rei, apa perlu dia gua suruh kesini? Mumpun orangnya lagi dikampus juga nih” ujar Andre perlahan.

“ga usahlah Dre, gua belum siap ketemu dia lagi” ucap Reina sambil menyenderkan tubuhnya pada sofa, matanya hanya bisa memandang kosong pemandangan danau dari jendela di sebelahnya.

Andre memilih diam dan membiarkan Reina dengan lamunannya. Rasanya menyakitkan melihat orang yang paling dia sayang, orang yang mati-matian dia jaga kebahagiannya harus terluka dengan sahabatnya sendiri.

Masih hangat di dalam ingat Andre, saat Reina tiba-tiba bercerita dengan lugas bagaimana dia bisa jatuh cinta pada sosok Wildan, bagaimana bahagianya dia saat dia bisa pergi berdua dengan Wildan, dan yang paling dia ingat bagaimana saat Reina harus menangis karena dia tau bahwa Wildan masih sangat menyayangi mantannya, masih ingat wajah Reina yang seolah harus menerima kenyataan, menelan bulat-bulat bahwa Wildan tidak akan pernah dia dapatkan.
            Andre masih memandangi wajah perempuan yang didepannya dengan tatapan nanar, seandainya Reina tahu bahwa ada seseorang yang sangat menyayangi Reina dengan tulus. Seandainya Reina tau itu.

“Rei, jangan ngambek dong. Nanti malem gua traktir ice cream deh beneran” ucap Andre memecah keheningan yang terjadi.

“beneran? Yakin? Ga pake bohong?” jawab Reina semangat,

“iya beneran, yaudah sekarang kita pulang aja, bete gua diem-dieman kaya lagi ujian deh”

Mencintai diam-diam itu seperti memendam bom, karena bom itu bisa meledak kapan saja. Entah itu meledak karena sebuah pengungkapan atau meledak karena akhirnya orang yang kita cintai diam-diam memilih orang lain dan bukan kita, karena kita lebih memilih menyimpannya dibanding mengungkapkan.

***

Suasana kedai ice cream yang terletak tidak jauh dari kampus mereka lumayan sepi pada hari ini, membuat Reina maupun Andre lebih bisa menikmati suasana tahun 90an yang dicoba dibangkitkan di kedai ini.

“Rei, gua mau nanya deh, boleh ga?”

“apa?” ucap Reina masih asik dengan ice cream yang berada di depannya

“sikap lu kalau ada yang suka sama lu gimana sih?”

“ya biasa aja, bilang makasih udah suka sama gua”

Andre menimbang-nimbang apakah dia harus mengungkapkannya sekarang, rasanya kalimat itu sudah ada di pangkal tenggorokannya, meletup-letup seolah memaksa mulutnya untuk mengucapkan kalimat yang selama ini sudah dia pendam. Mendobrak sekat yang mengalanginya, dan membeberkan apa yang seharusnya Reina tau, bahwa di dekatnya, bahkan sekarang didepannya ada orang yang benar-benar menyayanginya tanpa alasan apapun.

“Rei, kalau gua suka sama lu gimana?” ucap Andre cepat

Reina menatap Andre dengan tatapan yang tidak bisa di tebak Andre sebelumnya, namun tangan dan mulutnya masih sibuk dengan ice creamnya. “halah, bercanda lu ga lucu asli”

“gua ga bercanda Rei, gua suka sama lu dari pertama kali kita ketemu, bahkan saat pertama kali gua ngeliat lu, waktu lu lagi nyari kelas dan kita ga sengaja papasan di lorong”

Reina mengamati Andre dengan seksama, dia bisa melihat tidak ada raut bercanda dari sorot mata Andre.

“jangan suka sama gua”

“kenapa Rei? Katanya lu bakalan ngebiarin aja kalau ada orang yang suka sama lu”

“karena rasanya ga akan sama, temenan sama orang yang bener-bener murni temenan sama temenan karena salah satunya ada yang nyimpen rasa” ucap Reina datar sambil meletakkan cup ice cream di meja. Pandangannya pada Andre sekarang lebih serius.

Andre bisa merasakan raut sedikit kecewa dari wajah Reina terhadapnya. Namun bukan seorang laki-laki jika dia terlalu takut untuk mengatakan yang sebenarnya. Baginya lebih baik patah hati karena ditolak dari pada patah hati karena menyesal tidak pernah mengungkapkan. Setiap tindakan pasti memiliki resiko dan mungkin inilah resiko yang harus dia terima.

“apa lu ga pernah ngerasa ada sesuatu yang special diantara kita Rei?”

“gua kira kita temenan tulus Dre, gua kira selama ini lu mau nemenin gua sampai tengah malem, mau ngerawat gua saat gua sakit, mau nganterin gua kemana-mana, mau dengerin cerita gua tentang cowok A-Z, tentang masalah ini itu gua kira kita bener-bener akan jadi sahabat, ternyata lu punya maksud lain Dre” Ucap Reina sambil menahan tangis yang ingin dia keluarkan sejak tadi.

“gua tulus sama lu ko”

“BULLSHIT, pantes yaa lu dulu agak ga suka gua jalan sama Wildan, bahkan lu nyuruh-nyuruh gua ngelupai dia” Emosi Reina sudah mulai tidak bisa dikendalikan,namun dia masih menjaga nada suaranya tidak sampai mengeras hingga didengar oleh orang lain.

“kenapa lu bawa-bawa Wildan? Disini gua yang suka sama lu Rei”

“Gua masih suka Dre sama Wildan” tangan kanan Reina mencengram pinggiran meja didepannya dengan keras mencoba menahan tangis, namun dinding pertahanannya terlalu lemah untuk bertahan tangis itu harus keluar dari matanya “ga gampang buat ngelupain dia Dre”

“apa sih yang lu suka dari dia, dia masih sayang Rei sama mantannya. Dan lu liat disini ada gua Rei”

“jangan cintai gua Dre, gua masih cinta sama sahabat lu. Bukan lu yang gua mau buat nemenin hari-hari gua, tapi Wildan yang gua mau”

Andre mengela nafas dengan berat, jawaban Reina cukup memukulnya dengan telak. Dia sudah kalah dengan sahabatnya sendiri, namun dia tahu bahwa sahabatnya itu juga hanya menganggap Reina teman.
            Jika ada orang yang berkata bahwa pria bisa berpura-pura sangat mencintaimu padahal tidak, dan wanita bisa berpura-pura tidak mencintamu padahal sangat mencintaimu. Andre baru bisa membenarkan kalimat itu saat ini. Reina sudah sangat sukses menyembunyikan bahwa dia tidak mencintai Wildan lagi namun kenyataanya berputar terbalik.

“sorry Rei, gua cuma mau ngungkapin apa yang selama ini gua rasain, gua ga minta lu buat jadi pacar gua, gua cuma ga mau dibilang pengecut karena gua ga berani buat mengungkapkan”

Reina tidak menjawab apa yang Andre baru saja ungkapkan, dia memilih untuk mengalihkan pandangannya ke taman buatan yang ada di ujung ruangan. Otaknya terlalu penat untuk menerima semuanya.

“Dre, gua balik ya, ga usah di anter gua bisa balik sendiri ko” ucap Reina sambil mendadak bangkit dari duduknya, meninggalkan Andre yang seluruh tubuhnya seolah kehilangan persendian, membuatnya mendadak lumpuh tanpa bisa mencengah Reina untuk tinggal dan mendengar semua penjelasannya.

***

Reina masih tidak percaya dengan kejadian semalam. Kakinya melangkah pelan menyusuri jalan di hutan buatan yang berada dikampusnya. Sinar matahari yang bersinar terik tidak begitu ia rasakan karena terhalang pohon-pohon besar yang berada di hutan buatan tersebut. Matanya memandang kosong kedepan, beberapa orang sedang berpacaran, mengerjalan tugas, atau sekedar duduk-duduk terlihat dari sudut matanya. Tatapan Reina boleh kosong, namun otaknya sedari tadi tidak berhenti bekerja, ada sesuatu yang masih menjadi beban pikirannya sampai saat ini. Bahkan nyaris membuatnya tidak konsen selama perkuliahan tadi pagi.

Tangannya sibuk memaikan handphone menekan-nekan apa yang ada di layar handphonenya. Reina masih tidak habis fikir orang yang selama ini dia anggap tulus berteman dengannya ternyata memilik maksud lain. Mungkin benar tidak akan ada pertemanan yang tulus antara dua orang yang bersahabat lawan janis.

 “Rei, mau bareng gua ga?” ucap Andre yang mendadak sudah berada di belakangnya

“ga usah Dre, lagian gua belum mau balik ko, masih masu ketemu dosen dulu”

“Rei, lupain soal semalem yaa”

“Dre, gua duluan yaa” ucap Reina sambil berjalan begitu saja meninggalkan Andre.

Jika waktu bisa diputar dan kita bisa kembali untuk memperbaiki kesalahan terdahulu mungkin, Andre akan memilih untuk kembali dan tidak mengungkapkan apa yang dia rasakan hingga membuatnya lebih memilih jatuh cinta diam-diam. Namun tidak ada penyesalan yang terletak didepan. Jika penyesalan berada didepan mungkin tidak akan pernah ada kata “dosa” di dunia ini, karena semua tindakan bisa kita ketahui bagaimana akibatnya untuk kedepannya. Selain itu manusia tidak akan pernah menghargai sebuah pengalaman.

            Andre tidak mengejar Reina, dia lebih memilih untuk memperhatikan Reina dari jauh hingga punggung itu akhirnya menghilang dari pandangannya. Rasanya terlampau jauh untuk untuk bermimpi bisa mendapatkan Reina.

“weh kampret, ngapain lu?” ucap seseorang yang mendadak memukul pundaknya dengan keras.

Andre mengenali suara itu, sangat mengenalinya “eh Dan, gapapa lagi pengen ngadem di hutan”

“ga yakin gua, lu lagi pengen ngadem di hutan. Lagi ada masalah lu ya? Cerita aja kali ke gua” ucap Wildan sambil mengajak Andre duduk di salah satu bangku yang di sediakan di tempat tersebut.

Seandainya bisa Andre ingin berteriak tepat di telinga Wildan  “IYA GUA PUNYA MASALAH, ORANG YANG GUA SUKA TERNYATA CINTA MATI SAMA LU” namun hal itu hanya bisa mengema didalam hatinya saja. Dimulutnya Andre lebih memilih berkata “gua gapapa ko tenang aja”

“yakin lu gapapa? Yowislah kalo lu ga mau cerita. Gua ga maksa Dre. Tapi jangan pernah jadi orang yang pengen ditanya terus. gua bukan dukun yang tiba-tiba bisa tau masalah lu apa” ucap Wildan sambil berdiri dan merapikan bajunya “gua cabut dulu ya bro” sambil menepuk pelan pundak Andre.

 “iye, hati-hati lu”
***

            Seminggu sudah berlalu sejak tragedi dimana Andre mengungkapkan bahwa dia menyukai Reina. Dan seminggu itu pula Reina dan Andre sama sekali tidak menjalin komunikasi. Bayangan Reina yang menemaninya selama hampir tiga tahun sejak mereka masuk kuliah masih sangat jelas tergambar di benak Andre, bagaimana mereka selalu menghabiskan waktu berdua. Bahkan mereka selalu berusaha untuk sekelompok, seorganisasi, dan apapun berdua. Bayangan Reina sudah seperti candu bagi Andre, bagai memiliki zat adictive yang membuat kecanduan, memabukkan mengalahkan  semua bir yang pernah dia tenggak.
            Seminggu ini pula hidup Andre hancur, rasanya ada yang kurang dalam dirinya. Semakin dia berusaha melupakan Reina, semakin kuat pula otaknya menolak keras untuk melupakannya.
            Andre bergerak gontai menyusuri lorong menuju kelasnya, hidungnya sudah sangat menghafal pemilik wangi parfum ini, dugannya benar tidak jauh darinya berdiri ada Reina sedang berdiri di depan ruang kelasnya, matanya menatap jendela kelas dengan tatapan kesal.

“Rei, ko ga masuk”

“eh Dre” ucap Reina sedikit kaget dengan keberadaan Andre “ini gua telat jadi ga boleh masuk, lu juga deh kayanya” ucapnya lagi sambil tersenyum hambar

“yaudah cabut yuk kantin, apa mau ngopi?”

“enggak deh, gua kenyang Dre”

“ayolah Rei, mau sampai kapan lu ngehindarin gua terus cuma karena ga bilang suka sama lu” ucap Andre dengan tatapan memohon pada Reina

“yaudah iya, ayo” jawab Reina mengalah. Toh dia juga tidak tahu harus melakukan apa jika dia tidak boleh memasuki kelas seperti ini.

***

Reina dan Andre sama-sama sibuk dengan pikirannya masing-masing. Tidak ada celotehan-celotehan lucu yang keluar dari bibir mereka. Reina sibuk berfikir bagaimana cara membuat Andre bisa menjauh darinya terlebh dahulu. Pengalamannya terdahulu membuatnya belajar bahwa pertemanan yang tidak didasari ketulusan akan berujung dengan sebuah luka.

            Reina dulu pernah berteman sangat dekat dengan lawan jenis, bahkan saat Reina tahu bahwa temannya menyimpan rasa padanya Reina masih membiarkannya, namun rupanya pilihan itu salah. Saat pertemanan didasari olah salah satu menyimpan rasa maka pihak yang menyimpan rasa akan bertindak egois bahwa yang bisa membuat sahabatnya bahagia hanyalah dia seorang, tidak boleh orang lain bisa membuatnya tertawa. Dan Reina pernah mengalami itu, setiap kali dia dekat dengan pria lain dan saat Reina sudah merasa nyaman mendadak pria itu menghilang. Atau saat dia sedang merasa senang dan berbunga-bunga dengan orang yang dia cintainya. Sahabatnya mendadak galau, dan Reina tahu bahwa kegalauan dan kesedihan sahabatnya itu disebabkan oleh dirinya.

“Dre, lu masih suka sama gua?” tanya Reina membuka percakapan “jujur aja gapapa, gua pengen denger kejujuran lu”

“masih Rei, dan terus bertambah, karena lu udah punya ruang sediri di hati gua” ucap Andre perlahan sambil mengela nafasnya “dan ruang itu ga akan ada yang bisa ngegantiin Rei”

“lu jatuh cinta sama orang yang salah Dre, mungkin waktunya tepat kita sama-sama ga punya pacar. Tapi hati gua udah memilih seseorang Dre”

“dan hati gua memilih lu”

Reina membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya, dia harus bisa mengambil keputusan yang tepat, pengalaman tidak boleh terulang dua kali.

“Dre maaf banget gua ga bisa buat membalas perasaan lu...”

“gua ga minta di balas Rei” ucap Andre memotong perkataan Reina

“jangan di potong dulu, dengarkan sampai selesai. Gua ga bisa membalas perasaan lu karena jujur sampai saat ini yang gua suka itu sahabat lu Wildan, dan gua ga munafik kalau emang dia bisa dekat sama gua lagi, gua juga akan barusaha membuat dia jatuh cinta sama gua. Walaupun gua tahu membuat jatuh cinta orang yang masih masih dirinya masih tertinggal di masa lalunya adalah hal yang sulit”

“iya gua tau Rei, kalau emang lu bahagia sama Wildan silahkan gua ga akan ngelarang”

Reina tersenyum lembut mendengar ucapan Andre “Dre, untuk sekarang kita bersikap biasa yaa, tolong jaga jarak sama gua sampai hati lu netral lagi, kalau lu masih menyimpan rasa sama gua, bersikaplah biasa aja, ga perlu lagi kita komunikasi setiap hari, ketemu aja seperlunya kalau dikampus selebihnya tata hati lu, lu pantes dapet orang yang lebih baik dan mencintai lu, dan itu bukan gua” ucap Reina mempertegas akhir kalimatnya

“sekarang gua balik dulu yaa, bye” ucap Reina lagi sambil bangkit dari tempat duduknya tidak lupa dia tersenyum dan membisikkan sesuatu di telingan Andre sebelum pergi“jangan lupa bahagia ya, hidup lu ga berhenti di sini ko, hanya karena ga ada gua”

Andre tersenyum simpul mendengar kalimat yang di ucapkan Reina baru saja di telinganya, kalimat itu terdengar menyombongkan diri sendiri, namun dia juga membenarkan ucapan Reina. Dia harus bisa bahagia tanpa Reina, hidupnya masih terus berjalan, waktu tidak pernah berhenti walaupun dia sedang dalam keadaan terpuruk sekalipun, dengan atau tanpa Reina dia harus tetap menjalani hidupnya, yang dia perlukan saat ini hanyalah mengikhlaskan.


No comments:

Post a Comment