Wednesday, February 4, 2015

Keindahan Papandayan di Matamu


            Gina masih sibuk dengan khayalannya, sibuk merangkai akan kemana acara liburannya setelah uas ini berakhir. Lembar jawabannya sudah terisi penuh dan tinggal menunggu waktu pengumpulan jawaban dari sang dosen. Hingga sebuah suara di tepat dibelakangnya berbisik perlahan

“minggu depan lu mau kemana? Kosong ga?”

“kosong ko, gua belum punya rencana liburan sih” jawab Gina sambil memasukan alat tulisnya ke dalam tas tangannya, karena dia mulai menangkap sinyal-sinyal ujian ini segera berakhir.

“naik yuk” Tiba-tiba Akmal sambil mendekatkan tubuhnya ke Gina.

“boleh, gua lagi penasaran sama Papandayan nih. Kesana yuk!” Jawab Gina tanpa pikir panjang lagi terhadap tawaran yang diberikan.

“oleh uga. Oke-oke”

Tidak ada yang bisa mengalahkan tawaran menggiurkan dari acara hiking yang sudah menjadi hobinya sejak tiga tahun belakangan ini. Hobi yang mengantarkan Gina untuk lebih mengenal sosok Akmal sebenarnya. Sosok yang selama ini menggelitik sudut ruang hatinya, yang mampu membuatnya sanggup menunggu selama lima tahun dari tujuh tahun mengenal Akmal sejak dia dari sekolah dasar yang sebelumnya hanya mampu mengaguminya dari jauh.

            Bagi Gina hiking adalah kegiatan adventure yang mempu menguji seberapa kuat solidaritas antar anggota dan menguji seberapa egois diri kita sendiri serta kegiatan yang mempu menunjukan watak-watak asli setiap orang secara real. Dan menjalani hobi bersama dengan seseorang khusus adalah sebuah bonus yang menyenangkan.

            Detik demi detik yang berjalan telah mengantarkan pada waktu dimana hari itu akan tiba, hari mereka berangkat. Hari dimana setelah hari itu tidak akan pernah ada komunikasi via telpon genggam, internet, atau semua media social terkecuali berinteraksi langsung secara tatap muka,

“barang bawaan gua udah siap semua nih, langsung gua masukin ke dalam bagasi aja yak” ucap Gina sambil mengangkat tas carrielnya sendiri.

“iya Gin, masukin aja langsung” ucap Rino teman Akmal yang juga akan naik bersama mereka saat itu.

“Na, Retno ga jadi ikut nih. Lu cewek sendiri gapapa ?” tiba-tiba Akmal mendekati Gina. Dan berbicara setengah berbisik.

“yah ga jadi ikut Mal? Hmm yaudahlah gapapa ko, toh kalian ga bakalan ngapa-ngapain kan?”

“ya enggaklah, emang mau ngapain sih Na, udah buruan naik, lu didepan yaa”

“oke” jawab Gina sambil berjalan untuk masuk ke dalam mobil.

Perjalanan dari Jakarta menuju Garut yang berlangsung selama lima jam itu menjadi perjalanan yang dipenuhi gelak tawa, celetukan-celetukan jail,menjadi perjalanan yang akan terasa singkat apabila kita menikmatinya. Perjalanan sederhana namun bermakna kuat, perjalanan yang mampu membuat sebuah kenangan di otak manusia, perjalanan yang mampu membuat sebuah kontak batin antara satu dengan yang lainnya.

            Memasuki kota Garut, pemandangan di depan kami adalah gunung-gunung yang menjulang tinggi dengan balutan awan diatasnya, selayaknya bayi yang di bungkus selimut tebal. Gunung-gunung itu juga berbungkus awan seolah sedang menyelimuti dari hawa dingin dan udara kotor yang disebabkan oleh banyak polusi di bumi.

            Laju mobil kami bergerak menuju salah satu dari gunung-gunung tersebut, menuju gunung Papandayan, gunung yang sering menjadi tempat berkunjung beberapa orang yang baru pertama kali merasakan sensasi untuk hiking, karena treknya yang landai dan pemandangannya yang  menakjubkan.  Mobil yang sedang mereka tunggangi menembus perlahan keramaian kota Garut menepi menuju arah gunung Papandayan, hingga sebuah gapura selamat datang menyambut mereka perlahan.

“yeeyyy sudah sampai, tapi mana gunungnya yaa?” ucap Gina setelah mobil tersebut melewati gapura tersebut.

“masih jauh di dalem Gin, yaa kira-kira 500 meter deh” ucap Rino menjawab pertanyaan dari Gina.

“beneran ga nih 500 meter, lu udah ngitungin emang No”

“yaelah Mal, kan gua bilang kira-kira, lagian juga gua ga pake meteran buat ngitunginnya, asal pake feeling aja.

“yahh, yaudahlah ikutin jalannya aja Mal, nanti kalau udah sampe juga sampai.”

Mobil tersebut masih terus melaju perlahan, bergerak diantara kabut yang mulai turun hingga jarak pandang semakin menipis. melaju mengikuti arah jalan yang nantinya akan menuju ke basecamp pendakian gunung Papandayan.

            Kabut yang menyelimuti kita perlahan mulai mengilang dan sekarang jauh didepan sana kami mulai bisa melihat kepulan-kepulan asap yang berasal dari kawah mulai terlihat membumbung tinggi dan menyatu bersama awan. Perjalanan itu berakhir saat kami sudah memasuki kawasan basecamp pendakian gunung Papandayan.

            Udara dingin yang langsung menusuk kedalam tubuh dan angin yang kencang langsung meyambut kami setelah kami keluar dari dalam mobil. Udara yang mencapai suhu 10 derajat celcius mampu membuat mulut kami mengeluarkan asap seolah sedang berada di Eropa.Warung-warung kecil sudah berjajar rapi menjajakan panganan-panganan kecil untuk menemani para pendaki atau tamu-tamu yang datang untuk melawan dingin yang menusuk tubuh.

“kita mau naik sekarang juga? Udah sore tau No, Mal” ucap Gina sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

“ogah, siapa juga yang mau naik sekarang. Masih capek tau” jawab Akmal.

“iya besok pagi ajalah naiknya Gin, biar bisa puas foto-foto sepanjang jalan, lagian kita mau naik santai ko”

“iyaa sih bener juga, berarti sekarang kita cari tempat buat tidur ya?”

“diwarung aja kali ya No, kita nanti tinggal buka sleeping bag” ucap Akmal setelah melihat-lihat sekelingnya

Akhirnya mereka memutuskan untuk menginap di salah satu warung yang ada disana. Menginap untuk mengahabiskan malam ini disana dan menunggu matahari pagi menyambut mereka untuk memulai perjalanan.

***

            Matahari pagi yang memasuki celah bilik bambu tempat mereka menginap berbaur bersama angin pagi yang membangunkan mereka di antara lelapnya tidur. Memaksa mata untuk terbangun karena hari inilah semuanya akan dimulai dengan berjalan tanpa ada gangguan sedikitpun dari benda mati yang mempu medekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Setelah mereka membersikan diri dan sarapan pagi, tas-tas carriel sudah bertengger manis di punggung-punggung Gina, Akmal, maupun Rino.

            Mereka menatap jalanan didepan mereka yang nantinya akan mengantarkan mereka menuju keindakan alam dalam pelukan ibu pertiwa di tanah Indonesia. Jalanan yang terdiri dari batuan-batuan kerikil tanpa semen namun sudah ditata beraturan, karena objek wisata ini sudah mulai didatangi banyak orang sehingga akses untuk berjalannya di permudah. Karena di gunung inilah banyak orang yang menyebutnyanya “gunung girly” karena treknya yang cenderung landai mendatar tanpa banyak tanjakan tajam yang menantang.

 “ayo kita doa dulu sebelum jalan, supaya dari naik sampai turun bisa selamat” Ucap Akmal sambil mengerakkan tangannya untuk membuat Gina dan Rino membentuk lingkaran.

“Aamin, mari kita berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa mulai” ucap Gina menanggapi ucapan dari Akmal.

Setelah doa tersebut selesai, mereka mulai berjalan perlahan. Ada yang aneh di gunung ini, karena saat mereka berjalan mereka melihat beberapa motor yang mampu melewati trek jalanan mereka. Tidak lama dari mereka mulai berjalan, trek yang tadinya batuan kerikil mulai berubah menjadi batuan kuning khas kawah gunung, batuan yang mulai bercampur antara kapur dan belerang.

            Bau belerang yang menyengat sudah langsung menusuk hidung, oksigen yang semakin menipis juga membuat nafas menjadi susah. Namun uap panas yang keluar dari perut bumi, gletser yang menyembul diantara celah-celah batuan  mempu menghinotis mereka. Batuan besar yang ada di kiri dan kanan mereka seolah menghadang dengan keindahan tersendiri.

“fotoin gua sih, di kawah papandayan” ucap Gina sambil menyerahkan handphonenya kepada Rino

“gantian ya tapinya”

“okee, kalau ga paka tongsis aja yak biar bertiga?”

“udah itu mah nanti aja, buruan lu foto belakangnya kawah tuh” celetuk Akmal tiba-tiba.
Setelah puas mengabadikan moment di dalam sebuah foto mereka kembali berjalan menyusuri jalanan setapak yang sedikit licin karena bercampur dengan kapur dan sedikit belerang.   

            Setelah pemandangan kawah dengan bau belerang, gletser dan uas panasnya, pemandangan yang mereka lewati berganti dengan rimbunnya pepohonan yang menjulang, hijaunya daun-daun menyegarkan mata mereka yang tadi disuguhi hamparan gersang bebatuan belerang. Jalanan yang terlihat dari kejauhan berada di sisi bukit-bukit, jalanan yang melingkari seolah lekukan ice cream yang berbentuk cone.

            Tidak perlu waktu cukup lama untuk sampai di tempat mereka camp di Pondok Salada, tempat luas yang seluas lapangan bola mampu menampung banyak tenda didalamnya. Di tempat ini dijuluki Pondok Salada karena memang masih banyak tumbuh salada air disekitar tempat tersebut.

            Setelah beristirahat sebentar, Rino dan Akmal  langsung membuka tenda untuk mereka beristirahat, sedangkan Gina mengambil alih memasak untuk mereka makan siang dan mencicil memasak untuk makan malam.

“udah selesai masaknya Na?” tanya Akmal yang mendekati Gina.

“hampir selesai nih, Rino mana?”

“tidur tuh, katanya agak pusing. Sakit apa ya?” jawab Akmal sambil menujuk tenda yang berada tepat dibelakangnya.

“yaudah nih kasih makanannya ke dia dulu, kasian” ucap Gina smbil meyodorkan piring berisi makanan.

Tanpa menunggu dua kali Akmal langsung menyerahkan piring tersebut kepada Rino, setelah itu dia memilih untuk berada di luar bersama Gina.

“Pernah tahu ga naik gunung itu apa sih yang dicari?” Tanya Akmal membuka percakapan setelah mereka selesai memakan santap siang.

“apa ya? Kebersamaannya sih menurut gua, sama belajar kalau berjuang itu ga ada yang mudah. Naik turun, batuan kerikil, batang pohon yang tumbang itu sama kaya miniatur dalam hidup kita Mal, miniatur semua tujuan kita yang akan kita capai semua butuh yang namanya pengorbanan, capek, letih, lesu semuanya akan berbaur dan setelah kita mencapai titik puncak dimana tujuan kita tercapai, semuanya akan terbayar. Ga ada lagi yang namanya kaya capek dan lain sebagainya. Kalau  menurut lu?”

Akmal terpesona sesaat dengan semua lantunan kalimat yang terlontar dari mulut Gina. “superrrr sekaliii, nona. Hahahah sampai gua ga bisa berkata-kata”

“ihhh apaan sih Mal” ujar Gina sambil memukul pelan lengan pria yang sedang berada disampingnya itu. “udah buruan lu nyari apa kalo di gunung”

“nyari pacar sih kayanya” jawab Akmal sambil tersenyum jail.

“anjirrr gua udah serius-serius malah dibecandain”

“makanya jangan serius-serius. Seriusnya aja udh bubar.” Jawab Akmal sambil mencubit pipi Gina sambil berlalu.

Gina tersenyum dengan perlakuan Akmal yang baru saja, hal itu memang sederhana namun akan terasa istimewa apabila yang melakukan hal tersebut adalah orang yang paling kalian sayang.

            Matahari yang mulai tergelincir ke ufuk barat dan kabut yang perlahan turun menambah suasanya dingin ditempat tersebut. Tenda-tenda pendaki yang lain sudah terpasang dan menyala karena senter yang diletakkan di dalamnya membuat tempat tersebut berubah menjadi perkampungan kecil yang hangat. Suara-suara gelak tawa terdengar khas dari masing-masing tenda menyatu dengan bunyi binatang malam yang mulai terbangun.

            Rino sudah tertidur lelap dalam balutan sleeping bagnya, tubuhnya sudah menunjukan tanda sakit dan harus beristirahat. Gina masih sibuk dengan kompor gas portabelnya untuk memasak air panas, sedangkan Akmal entah sejak magrib dia sudah menghilang. Gina menatap khawatir terhadap Rino, tangannya menyentuh perlahan kening Rino berharap suhu tubuhnya sudah menurun, namun masih hangat entah tangannya yang dingin atau memang tubuh Rino yang memanas.

“Rino udah mendingan Na?” tanya Akmal yang mendadak sudah ada di pintu tenda.

“udah nih, udah turun panasnya. Lu dari mana aja?”

“jalan-jalan sama tadi ketemu temen SMA gua, itu si Samuel”

“ohh dia, gua ga kenal deket sih.”

Akmal duduk didalam tenda yang bermuatan empat orang tersebut, tangannya menggosok-gosok sendiri untuk membentuk hawa hangat sebelum dia memakan makan malamnya yang telah disiapkan oleh Gina.

            Malam yang semakin larut membuat Gina yang sejak tadi terjaga memutuskan untuk tidur. Disebelahnya Akmal sudah tertidur lelap dalam dekapan kantong tidurnya sendiri, matanya yang terpejam dengan polos. Membuat Gina tersenyum sendiri.

            Dia bisa merasakan Akmal sangat dekat dengan dirinya, berada disampingnya sejak mata ini terbuka hingga akhirnya menutup kembali, melihat semua aktifitasnya bersamanya sepanjang hari dan melihat wajahnya yang apa adanya adalah semua keindahan tersendiri. Karena bersama dengan orang yang kita sayang selama sepanjang hari adalah suatu anugerah terindah yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

            Gina memasukkan tubuhnya sendiri ke dalam kantung tidurnya berselimut kehangatan akan cinta yang sedang bersemayam di dalam dekapan Papandayan dan hangatnya tenda. Dan akhirnya memejamkan matanya tepat bersama dengan keindahan yang terjadi hari ini.

***

            Suara alarm yang di setel oleh Gina pukul lima pagi berbunyi nyari tepat disamping telinganya. Dilihatnya Akmal dan Rino tidak ada tanda-tanda terganggu dengan bunyi tersebut. Setelah bangun dan melepaskan diri dari kantung tidurnya dia mulai memasak untuk sarapan pagi, karena rencananya siang ini mereka sudah turun kembali.

            Setelah semua masakan itu selesai Akmal dan Rino baru saja terbangun, terbangun dengan mata merah dan wajah-wajah bantal. Gina yang melihatnya hanya mampu tersenyum ringan. “buruan lu pada cuci muka, trus makan. Udah siap nih”

“okee bos” Akmal langsung bangun dan keluar dari tenda, tidak lama Rino mengikuti.

Sambil membereskan alat-alat makan, Gina tiba-tiba melontarkan suatu pertanyaan “kita mau muncak ga hari ini?”

“gua ga ikut deh, gua di tenda aja Gin. Badan gua masih ga enak. Lu aja sama Akmal ya.” Jawab Rino.

“jadi lu ga ikut nih, tapi gua juga ga ke puncak sih palingan sampe Tegal Alun aja. Soalnya puncaknya mah biasa aja Na. Lu setuju ga?”

“yaudah kalo gitu mah sampe Tegal Alun aja deh, gua juga penasaran sama ladang edelweisnya aja ko” ucap Gina lagi.

“Yaudah yuk siap-siap Na”

Gina memasukkan barang-barang berharganya ke dalam tas kecilnya, sambil menyiapkan sebotol air untuk bekal minum disana. Tidak lupa beberapa coklat juga dia masukkan untuk camilan selama di jalan.

“No, gua tinggal ya. Lu hati-hati ditenda. Tidur aja istirahat dah.” Ucap Akmal sebelum meninggalkan tenda “ayo, Na kita jalan” sambil tangannya menunjukkan gerakan untuk mengajak pergi.

“okee siap, jagain Gina lu Mal” jawab Rino dari dalam tenda.

“beres dah”

Kini Gina dan Akmal kembali menyusuri jalan setapak yang nantinya akan mengantarkan mereka ke tegal alun atau ladang edelweis. Rimbunan pohon mulai menyapa mereka berdua seolah mereka sedang memasuki lorong yang akan mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Beberapa selang air terlihat dijalan yang mereka lalui. Selang-selang air itulah yang nantinya akan memberi air untuk kehidupan warga yang berada di bawah kaki gunung Papandaya ini.

            Matahari yang mulai memasuki celah-celah pepohonan membuka jalan mereka untuk sampai ke hutan mati. Sebuah tempat dengan warna putih sebagai dasarnya, dan banyak pohon-pohon yang berdiri menghitam mati karena belerang. Namun pohon-pohon itu masih tegak berdiri seolah menjadi saksi bisu dimana saat kejadian itu membuat daun-daun mereka mati.

            Sepanjang jalan itu yang pemandangan hutan matilah yang menjadi pemandangan mereka berdua, menyempatkan untuk membidik moment yang tercipta disana dan dibekukan dalam bentuk foto. Selepas dari hutan mati trek yang tadinya landai berubah menjadi sedikit menanjak dan semakin menanjak hingga akhirnya mereka bertemu trek lurus keatas dengan kemiringin hampir 50 derajat. Trek berbatu besar dan beberapa akar pohon yang menyembul diantaranya menjadi pemandangan Akmal dan Gina sebelum naik menuju Tegal Alun.

“ayo lu bisa ko Na” Akmal menepuk perlahan pundak Gina untuk memberinya semangat. “ayoo jangan diliatin aja, naik buru. Gua di belakang lu”

Gina memejamkan sebentar matanya dan mulai menaiki trek tersebut perlahan namun pasti, kakinya mencari pijakan yang nantinya mampu menahan berat tubuhnya semakin lama trek yang tadinya curam menjadi sedikit landai dan plang bertuliskan Tegal Alun kini sudah berada di depan matanya.

“Mal liat deh kita udah sampai tau” teriak Gina saat dia melihat pertama kali plang tersebut “wahhh edelweisnya lagi mekar Mal. Buruan siniii”

“sabar Na, gua juga sambil jalan” ucap Akmal yang sekarang sudah berada dibelakang Gina.

“thanks yaa udah mau nemenin kesini. Walaupun ga sampau puncak dan liat lautan awan di bawah kita.” Ucap Gina yang mendadak memeluk Akmal dan buru-buru melepaskannya setelah dia sadar akan apa yang dia lakukan. “sorry”

“gapapa kali, lagi juga gapapa”

“Akmal apaan sih” ucap Gina sewot sambil menyembunyikan wajah malunya.

            Hamparan edelwais kini sudah berada didepan mata, tanah lapang di depan mereka merupakan pohon-pohon edelweis yang sedang berbunga dan bergerombol. Beberapa orang sibuk mengabadikan dirinya di antara di pohon-pohon berbunga abadi tersebut. Gina lebih memilih untuk beristirahat sebentar diantara rerimbunan bunga edelweis. Perasaannya bercampur menjadi satu bahagia, senang, sedih, dan apapun itu berbaur dan menyatu dalam dirinya.

“kenapa lu bengong aja?” tanya Akmal sambil duduk disebelah Gina.

“gapapa ko” jawabnya menutupi perasaannya sendiri. Rasanya bahagia bisa bersama oang yang selama ini memenuhi semua mimpi kita, namun jika tidak bisa bersama apakah itu bahagia?

“lu capek?” tanyanya lagi sambil menyentuh tangan kiri Gina dan menggenggamnya. “kalau capek istirahat aja dulu, toh kita disini juga nyantai perjalanannya cepet ko.”

Bagai tersengat listrik ribuan volt, tubuh Gina menegang dan perlahan Gina menatap Akmal dan hanya dibalas dengan senyuman lembut khasnya dan dia kembali menatap kedepan. Gina menyandarkan kepalanya ke pundak Akmal. Menyandarkan juga perasaannya yang selama ini hanya mampu dia pendam dalam diam beralaskan pertemanan.

            Terkadang kita sulit untuk untuk mengungkapkan apa yang kita rasakan dan membunuh perasaan kita sendiri dengan alasan kita tidak mau dia mendadak menjauh dari kita, dan tetap ingin selalu dekat. Mungkin yang Gina lakukan saat ini hanyalah ingin selalu dekat dengan Akmal, dekat walaupun tidak bisa memiliki, bersama sepanjang waktu jika hanya saat waktu tertentu dan selepas itu akan kembali seperti biasa. Kembali dengan kehidupannya masing-masing tanpa saling mengganggu dan mengusik.

“foto bareng yuk” ucap Gina tiba-tiba.

“muka gua lagi jelek, lu aja deh”

“yahh yaudah fotoin gua buru”  jawab Gina cepat untuk menyembunyikan kekecewaannya. 

Kabut yang mendadak turun  bersama dengan awan yang menghitam memaksa mereka untuk segera menyelesaikan kegiatan di tempat tersebut dan bergegas turun sebelum hujan menyambut mereka.
         
   Lagi-lagi tepat saat mereka kembali bertemu dengan trek turun curam yang tadi. Gina kembali terlihat dengan kondisi takut, pikirannya sudah membawanya bahwa dia salah langkah semuanya akan berakhir dia akan tergelincir dan jatuh.

“are you oke? Ayo cepetan Na” ucap Akmal disampingnya

“gua takut Mal, ini licin banget. Kalau tadi naik sih enak, turunnya ribet” jawab Gina.

Akmal menghadapkan tubuh Gina ke hadapannya “liat gua, BISA. Lu udah naik gunung berapa kali sih. Kaya gini aja mlempem?”

Gina terdiam memandang orang yang kini hanya berjarak beberapa centimeter di depannya. Dan menganggukankan kepalanya tanda bahwa dia bisa.
Akmal hanya tersenyum tipis dan mengecup lembut kening Gina “ayo pegang tangan gua” sambil mengulurkan tangan kanannya.

Kejadian yang mendadak dan tiba-tiba membuat Gina sedikit terkejut namun dengan cepat dia bisa menguasai keadaan. Gina tersenyum dan memegang tangan Akmal. Seolah mempercayakan dirinya pada orang yang sepersekian detik tadi mengecup perlahan keningnya.

“pegang yang kuat, fokus sama trek dan percaya sama gua. Oke?”

“okee, pelan ya”

Dan tidak butuh waktu lama tubuh itu mengikuti arah tarikan menurun dari tubuh Akmal, jantung Gina berdegup kemcang, bersama kaki dan tangan yang hanya bersandar pada tangan Akmal dan pijakannya sendiri. Sensasi menuruni lereng dengan cepat dan tepat membawa mereka sudah di bawah kembali.

“cepet kan sampe bawah” tanya Akmal saat mereka sudah ada di trek yang kembali landai.

“iyaaa iyaa cepat, untung jantung gua ga ikut ketinggalan tadi Mal” ucap Gina sambil menampilkan muka mencoba menelan bulat-bulat apa yang tadi terjadi.

“yaudah buruan yuk, rapi-rapi tenda trus balik.”

“siap bos” ucap Gina sambil memberi hormat.

Kabut yang mengakin tebal memaksa mereka untuk berlarian dengan waktu. Tanpa banyak basa-basi ternyata tenda dan peralatan yang lain sudah di packing rapi oleh Rino. Dia menunggu Gina dan Akmal sambil duduk di dekat tas-tas mereka. Dan saat dia melihat sosok Gina dan Akmal yang mendekat dia langsung berdiri.

“ayo buruan langsung turun aja, takut ujan. Males basah-basahan” ucap Rino saat mereka berdua sudah berada didekatnya

“oke” jawab Akmal dan Gina bersamaan sambil menganggat tasnya dan bersiap kembali turun.

Perjalan turun selalu menjadi perjalanan yang selalu lebih cepat dibanding naik karena saat turun tubuh kita terbantu oleh daya dorong ke bawah karena efek gravitasi yang terjadi sehingga tubuh akan menjadi lebih ringan.

            Saat mereka sudah kembali menyentuh lahan base camp pendaki saat tu juga hujan yang lebat mendadak turun membasahi bumi. Memberikan kesegaran untuk panas yang sebelumnya terjadi. Mereka beristirahat sebentar disalah satu warung sambil menikmati segelas teh hangat dan pisang goreng.
          
        Jam yang sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB menyadarkan mereka untuk kembali pulang. Kembali ke hutan yang sebenarnya hutan dimana manusia namun memiliki jiwa seperti binatang buas, saling mematikan satu sama lain. Saling makan dan saling membunuh seolah mereka memang harus melakukan itu untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu.
        
    Mobil mereka kembali memecah derai hujan dan kabut yang turun, pejalanan pulang yang meninggalkan papandayan yang masih berdiri dibelakang mereka dengan uap yang masih mengepul dan meninggalkan keindahan tersendiri di hati Gina, Akmal, maupun Rino. Namun bagi Gina keindahan papandayan yang ada di kawahnya, di Pondok Salada, dan di Tegal Alun. Menjadi keindahan tersendiri. Meninggalkan banyak cerita disana, dan meninggalkan cinta malu-malu berasaskan pertemanan. Meninggalkan memori yang akan tersimpan kuat dalam alam bawah sadarnya dan akan menjadi suatu cerita di lain waktu.

No comments:

Post a Comment