Tuesday, November 21, 2017

Sebuah Kesalahan




Masihkah kamu mengingat suara derai tawa yang biasa keluar dari bibirku?
Masihkah kamu sedikit melihat sosokku di ujung matamu?
Masih ingatkah kamu dengan semua hal sering aku ucapkan denganmu?

Aku masih ingat semuanya tentangmu, masih ingat suara tawamu, masih ingat sosokmu, ah rasanya aku ingin kamu ada di sampingku saat ini. Dan maafkan aku atas kesalahanku yang mungkin tidak pernah kamu tahu.


***

“kamu kapan mau jemput aku? Janjinya mau ngajak mau main. Bohong aja nih aku udah nungguin dari tadi tau” ujarku dengan dengan ekspresi muka yang kecewa walaupun aku tau ditakkan bisa melihatnya.

“maafin aku Din, aku juga ga tau kalau aku harus liputan hari ini. Atasanku yang minta, mana mungkin aku tolak”

“yaudah aku ikut liputan sama kamu yaa, gimana?” ucapku masih merajuk padanya.

“ngaco emang aku jalan-jalan apa! Udah kamu tunggu aja di rumah nanti kalau aku selesai liputan aku jemput kamu”

Tuttt......... Sambungan telpon itu sudah dimatikan oleh seseorang diujung sana.

Aku menatap nanar handphone yang ada di tanganku. Rasanya percuma jika aku terus memaksanya. Hasilnya akan tetap sama, dia akan lebih mementingkan kerjaannya.

Apakah salah kalau kita menginginkan untuk bisa dekat dengan orang yang kita cintai? Apaakah salah kalau kita ingin orang itu selalu ada di samping kita?

Ini adalah kali kesekiannya dia membatalkan janji untuk bertemu alasannya masih dengan kerjaannya dan kerjaanya. Bekerja sebagai seorang jurnalis mengharuskannya untuk siaga kapan pun saat ada berita penting yang diliput. Namun aku masih belum bisa menerimanya dengan kesibukkanya.

            Aku membanting keras handphoneku di atas kasur, moodku mendadak hancur saat ini. Aku sudah merencakan dan berfikir bahwa hari ini aku akan bertemu dengannya. Akan berbagi tawa dan canda bersamanya namun semuanya ternyata salah. Kali ini aku kembali sendiri. Hingga sebuah pesan masuk di chat room bbmku dan kulihat nama Ziah disana teman travelingku beberapa bulan belakangan ini.

  • “Din, besok mau ikut ke pantai ga? gua mau jalan nih ke tidung sama temen-temen gua”
ü  Mau ketemu di mana besok?
  • Langsung di angke ya, bawa bawaan pribadi aja

ü  Oke

Dengan semangat aku langsung menyiapkan alat-alat pribadiku untuk besok. Daripada aku memikirkan  dia yang masih sibuk dengan pekerjaannya lebih baik aku menyenagkan diriku sendiri. Rasanya tak sabar menunggu besok untuk pergi.

***
            Ayam sudah berkokok dengan nyaringnya, jam dinding masih berdetak setiap detik seolah menunjukkan waktu yang terus berputar. Aku sudah sudah mandi dan bersiap untuk pergi. Jam masih menunjukkan pukul 04.00 WIB, masih pagi namun karena penyebrangan ke pulau tidung pukul 06.00 WIB, maka setidakknya aku sudah harus di sana pukul 05.30.WIB. Setelah mengecek kembali alat-alat yang aku bawa. Dan berkaca sebentar di cermin aku segera kebawah meninggalkan note untuk mengabarkan kedua orang tuaku bahwa aku sudah pergi, walaupun semalam sudah kuberitahu.

            Jalan jakarta masih lengang, membuat mobil yang aku kendarai bisa melaju dengan lancar. Setelah satu jam perjalanan aku sudah sampai di pelabuhan angke. Dan Ziah sudah menungguku setelah aku selesai memarkirkan mobilku di tempat penitipan.

“Jalanan lancar Din?”

“lancar banget Zi, kalo bisa guling-guling mah guling-guling kali gua tadi di tol”

“hahahahha, bego lu Din. Oiyaa kita bertujuh Din. Tapi hampir semuanya couple”

“ha? Trus gua? Tenang-tenang ada satu orang sih yang kosong ga tau jomblo ga tau ga doyan cewek ya gua ga tau Din ahahaha” jawah Ziah sambil tertawa.

“lu ga lagi mau nyoblangin gua kan? Gua udh punya pacar nih”

“alahh, apaan sih temenan mah temenan aja kan selama trip mah semuanya juga temen. Gua bercanda kali. Lagian kan gua juga bakalan sama lu. Masa iya gua ninggalin lu.”

“awas lu boong ya! Gua tabok”

“nih tabok nih” ucap Ziah sambil berlari menjauh dari aku. Dan akhirnya aku mengikuti untuk mengejarnya.

Di ruang tunggu pelabuhan aku berkenalan dengan teman-teman Ziah yang juga akan menjadi teman tripku sampai besok sore. Namun dari empat laki-laki yang ada disitu ada seorang laki-laki yang menurutku paling pendiam dan menyita perhatianku. Seorang laki-laki dengan kulit sawo matang, kumis tipis yang sengaja tidak di cukur dan dari tadi terdiam saat yang lainnya asik bersama pasangannya masing-masing. Akupun mendekatinya karena menurut perkiraanku dia adalah satu orang laki-laki yang tadi di ceritakan Ziah bahwa dia hanya sendiri tanpa pasangan.

“Hey, kenalin gua Dinda” ucapku saat aku sudah duduk di sebelahnya.

“udah tau, kan tadi Ziah juga nyebutin nama lu”

“ya, siapa tau lu lupa. Hehehe’ ucapku sambil terkekeh menutupi rasa malu karena jawabannya terlalu dingin.
Karena aku bingung ingin membuka obrolan apa maka aku memilih diam hingga kapal kami tiba. Setelah petugas kapal menyuruh para penumpangnya masuk ke dalam kapal bagi yang sudah memiliki tiket, aku bersama yang lain pun segera memasuki kapal dan mencari tempat duduk ternyaman untuk menghabiskan dua jam waktu penyebrangan Angke ke Pulau Tidung.
Lima belas menit setelah kapal kami menganggat jangkar. Aku memilih untuk keluar dari ruangan dan memilih berada di luar menikmati semilir angin dan melihat hamparan laut lepas di depan mata.

Ku langkahkan kakiku mencari tempat yang enak untuk menikmati semilir angin yang memainkan rambutku. Seolah mengajak menari bersama dengan alunan musik deburan ombak.

“kenapa di luar, ko ga duduk aja di dalam. Di luar kan panas?” ucap sebuah suara tepat di sampingku

“ehh, e…lu. Iyaa bosen di dalem ga ada yang bisa di liat lagian mereka sibuk sama pasangannya. Gua jadi nyesel ikut hari ini” jawabku yang memang sedikit menyesal karena ikut bersama Ziah yang ternyata mereka semua pasangan.

“hahahahaha, ternyata gua ga sendirian ya yang ngerasa nyesel ikut hari ini. Gua di jebak tuh sama pacarnya si Ziah. Bilangnya ga pasangan ko tenang aja. Taunya zonk.”

Aku sedikit terkesima dengannya, bagaimana mungkin orang yang paling pendiam yang tadi membuatku malu karena membuka obrolan bisa menjadi orang yang dengan gampangnya bercerita seperti ini.

“eh ko lu bengong gitu sih” ucapnya lagi sambil melambaikan tangan di depan wajahku “haloooo”

“ehh iya, sorry gua bingung aja sih. Soalnya tadi pas kita nunggu kapal lu diem banget tapi sekarang lu jadi banyak ngomong” ucapku sambil sedikit tersenyum

“oh sorry ya Din, tadi gua diem emang karena gua lagi kesel aja kenapa gua di boongin bilangnya ga pasangan taunya pasangan semua” jawabnya sambil menghela nafas. “oiya kenalin gua Bimo”ujarnya lagi sambil mengulurkan tangannya.

“Dinda” jawabku membalas uluran tangannya “tapi tadikan kita udah kenalan, gua juga udah tau nama lu” jawabku lagi.

“siapa tau lu lupa” jawabnya sambil mengangkat satu alisnya.

Obrolan hangat pun terjadi begitu saja antara Bimo dan aku, dan aku dengan mudahnya bisa bercerita apun termasuk masalah dengan pacarku yang di tanggapi hanya tertawa olehnya. Dia hanya berkata “lupain sejenak masalah lu, sekarang waktunya seneng-seneng. Masa jauh-jauh ke pantai cuma buat mikirin masalah” aku hanya tersenyum menanggapinya. Pukul 10.00 WIB kapal kami sudah akan merapat ke dermaga aku segera kembali masuk ke ruangan mengambil tas dan perlengkapanku dan bergegas turun bersama yang lain.

            Disini Ziah sudah menyewa sebuah rumah dengan dua kamar tidur. Setelah beristirahat sebentar dan memereskan peralatan kami bergegas keluar untuk mencari makan siang dan berjalan-jalan keliling pulau. Karena yang lainnya lebih memilih berjalan bersama dengan pasangannya masing-masing. Aku memilih berjalan di belakang dan mengabadikan beberapa moment dari balik lensa kameraku. Sedangkan Bimo lebih memilih membuat sebuah video dengan dronenya.

“din, suka nyelem ga?” ucap Bimo mendadak membuyarkan konsentrasiku saat sedang memotret sebuah burung dengan latar belakang pantai.

“ahh lu nih, bikin gua ga konsen kan? Ilang deh tuh objek foto gua” jawabku sambil menahan kesal

“hahahahha, sorry sorry gua ga tau, nanti juga nemu burung yang lain yang lebih bagus. Tapi lu suka nyelem ga? soalnya anak2 yang lain ga pengen nyelem sedangkan gua udah bawa masker sama snorkel”

“gua juga bawa tuh masker sama snorkel mah mau snorking bareng?” jawabku melenceng dari yang dia tanyakan.

“boleh yuk nanti kita snorkling, gua punya spot snorking bagus, lu pasti ga bakalan tahu walaupun lu sering kesini karena gua menyebutnya Bimo secret spot” ujarnya sambil membusungkan dada

Aku memandang heran dengan sosok laki-laki di sampingku saat ini “ha? Suka-suka lu deh Bim” ucapku sambil berlalu membiarkan dia masih berbicara melantur.

***

“ini bener cuma mau nyewa fins aja mba?” tanya penjaga toko alat sewa snorking di sekitar pulau tidung.

“iya mas finsnya aja dua” ucapku menjawab pertanyaanya.

Setelah melakukan pembayaran dua buah fins aku dan Bimo bergegas mengayuh kembali sepeda kami menuju tempat yang di katakan oleh Bimo. Aku hanya bisa mengikutinya karena aku juga pertama kali ada di pulau tidung ini. Aku di bawa ke melewati jembatan cinta dan menuju ke tidung kecil. Setelah memarkirkan sepeda. Kami pun memakai fins dan masker untuk bersiap masuk ke dalam laut.

Rasanya menyenangkan bisa kembali menikmati asinnya air laut, bercumbu dengan terumbu karang dan ikan-ikan kecil yang berenang kesana kemari. Mendadak Bimo menggengam tanganku perlahan menariku untuk mengikutinya. Semakin aku mengikutinya semakin terumbu karang yang ada di pandanganku semakin indah dan jarang yang mati namun aku juga merasa semakin dalam tempat yang kami capai saat ini. Hingga akhirnya aku sadar bahwa kami sudah bukan lagi didekat tepian pantai.

“gua tau lu pasti udah lisens kan? Seenggaknya open water? Bener ga tebakan gua?” tanya Bimo saat kami mengapung di permukaan air. Dengan berenang terlentang karena dengan posisi itu badan akan lebih rileks dan tidak membutuhkan usaha keras untuk tetap terapung.
“yes, lu bisa tau dari mana gua lisens?”

“karena cuma orang yang berlisens yang dengan nyantai berenang tanpa pelampung bahkan beberapa kali lu free dive buat bisa lebih deket sama ikan.”

“iya sih bener juga lu Bim” ucapku sambil tersenyum simpul. Seandainya dia yang berada disini bukan Bimo ucapku dalam hati.

“Din, yuk turun lagi ada beberapa tempat yang lu harus liat”

Aku tersenyum dan segera berbalik badan dan turun kebawah. Hingga waktupun tidak terasa sudah berlalu hampir dua jam. Kulit tanganku sudah mulai mengkeriput menunjukkan bahwa aku sudah terlalu lama berada di air. Setelah berenang kembali ketepian aku dan Bimo masih sempat beristirahat sebentar sebelum kembali mengayuh sepeda menuju rumah tempat kami menginap.

“Dindaaaaa, Bimoooo astaga kalian kemana aja sih kita semua pusing nyariin lu berdua tau ga!” suara melengking dari Ziah langsung menyambut kami sejak kami menapakkan kaki di depan pintu rumah.

“maaf Zi, abis kalian semua sibuk sih yaudah gua lebih milih nyelem mumpung ada temennya heheheh” jawabku terkekeh sambil memeluk Ziah agar sedikit meredakan kekhawatirannya.

“yaudah yaudah, jangan ngilang lagi lu berdua yaa. Bikin bingung aja.”

Aku hanya tertawa dan langsung memasuki rumah untuk segera membersihkan diri.

Malam hari telah tiba, makan malam kami berkonsep berbaque. Aku bisa merasakan Bimo banyak memberikan perhatiannya kepadaku. Enatah apakah aku yang salah mengartikan atau memang keadaanya seperti itu. Hari ini dia masih tidak menghubungiku bahkan saat aku bercerita bahwa hari ini aku pergi dengan Ziah, dia hanya mengatakan hati-hati dan jaga diri setelahnya dia kembali terjebak dengan kesibukkan. Membiarkan aku sendiri, seolah aku memang tidak pernah ada dihidupnya. Kalau ada yang berkata kesibukan itu tidak pernah ada tapi hanya soal kamu lebih memprioritaskankemana waktumu. Mungkin dia lebih memprioritaskan pekerjaannya dan aku mungkin tidak pernah ada di daftar prioritasnya. Rasanya aneh kamu berada di keramaian tapi kamu masih tetap merasa sendiri. Rasanya kamu ada di ruang hampa tapi banyak suara di sekitarmu, dan aku merasakan hal itu saat ini.

            Pesta telah berlalu, jam dinding sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Aku baru tertidur sekitar satu jam dan terbangun. Ku lihat Ziah sudah tertidur pulas disebelahku. Ku sibakkan selimutku dan berjalan menuju keluar. Untuk mencari minum. Setelah menyelesaikan hausku, aku ingin kembali kekamar namun sekilas aku melihat Bimo keluar dari rumah. Rasa penasaranku mengajakku untuk mengikutinya dan melupakan tidurku. Duara deburan ombak terdengar jelas di telingaku maklum rumah yang kami sewa saat ini memang dekat sekali dengan bibir pantai. Aku melihat punggung tegap Bimo sedang duduk di ayunan. Aku mendekatinya dan duduk di ayunan sebelahnya. Kami sama-sama terdiam bahkan Bimo hanya melirikku dan tersenyum kecil. Sejenak kami sedang berada di alam lain, menikmati alunan lagu paling merdu yaitu deburan ombak yang berlarian seolah berkejaran untuk siapa yang terlebih dahulu tiba di darat.

“gua paling suka suara ombak pantai rasanya damai banget.” Ucapku memecah kesunyian

“kenapa emangnya?”

“rasanya damai aja, coba aja lu pejamin mata lu trus rasain angin yang mainin rambut lu sama ada suara merdu di telinga lu. Pasti rasanya damai banget kan.” Jawabku sambil tersenyum “tapi lebih asik agi sambil main ayunan gini” kataku lagi sambil mengayunkan tubuhku.

Brukkk

“awwww sakittt” aku meringis kesakitan karena mendadak tali ayunanku putus sebelah saat aku sedang berayun membuatku jatuh sempurna diatas pasir.

“are you okay?” tanya Bimo sedikit panik kepadaku

“sakittt Bimooo, lu ga liat gua jatoh nih” jawabku sambil menekuk bibirku menunjukkan wajah kesalku

“ahahahaha yaudah sini mau balik kerumah, perlu di gendong?”

Aku menggelanglan kepalaku, dan menepuk pasir disebelahku. “enggak Bim, sini duduk aja”

Dan Bimo pun menuruti permintaanku duduk disebelahku. Aku tidak tau kenapa, apakah perasaanku ini benar adanya atau hanya perasaan yang timbul sesaat karena terbawa suasana. Tapi aku merasakan damai saat aku berada didekat Bimo, aku merasakan kembali jantungku yang berdegub perlahan saat tiba-tiba tangan kami bersentuhan.  

“Din, lu itu ga boleh sedih apalagi cuma karena kesepian karena cowo lu ga pernah ngasih kabar” ucap Bimo sambil menarik tubuhku perlahan ke dalam dekapannya. “kalo lu sedih nanti hujan, soalnya langit juga pasti sedih karena liat wajah lu yang murung”

“Bim, seandainya yaa gua kenal lu lebih cepet, pasti gua bakalan milih lu buat jadi pacar gua” ucapku tanpa sadar dan diluar kendali otakku sambil melepaskan pelukannya dan mengarahan kepalaku kewajahnya.

“ga ada yang pernah tau Din, apa yang di rencanain sama semesta. Mungkin lima tahun kedepan kita bisa ketemu lagi dipelaminan. Semua hal bisa terjadi Din. Mungkin emang sekarang belum waktunya aja kita bersama. Lu udah ada yang punya dan gua ga pengen jadi orang yang ngerusak hubungan orang. Gua pernah ngerasaain hubungan gua di rusak sama orang ketiga. Kalau sekarang gua ngambil lu dari pacar lu apa bedanya gua sama orang yang waktu itu ngebuat gua harus kehilangan dia”

Aku menahan tangisku agar air mata itu jangan sampai berjatuhan. Aku mendekapnya berlahan. Berharap ini mimpi yang jangan pernah berakhir. Bimo hanya menguasap rambutku mencoba menenangkan. Dan sebuah kecupan hangan pun terjadi di antara dinginnya hembusan angin laut, deburan ombak dan pantulan sinar bulan. bibir kamipun saling terpaut. Seolah mengatakan selamat datang dan selamat tinggal. Mencoba mengikat namun juga harus melepaskan.

Aku menatap wajahnya yang sekarang beradi di hadapanku memeluknya sekali lagi. Sebelum matahari pagi muncul dan mengatakan bahwa mimpi indahmu sudah harus berakhir. Sebelum sang bulan pulang keperaduannya dan digantikan oleh mentari. Sebelum ayam berkokok menandakan sudah waktunya untuk kembali ke dunia nyata. Aku masih menikmati hangat pelukannya. Meletakkan sejenak kepalaku di pundaknya.

            Semburat jingga mulai nampak di ujung timur. Nyanyian burung mulai terdengar sayup-sayup. Aku masih duduk di pinggir pantai bersama Bimo sejak tiga jam yang lalu. Bersama dengan memori indah yang hanya abadi di benak kami. Sang mentari mulai naik perlahan, menyinari bumi dengan cahayanya. dan kami memutuskan masuk kedalam rumah, untuk kembali beristirahat sejenak.

            Jam dinding sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB saat aku mulai terbangun kulihat Ziah juga baru saja terbangun dari tidurnya. Aku berfikir yang semalam aku alami itu mimpi atau bukan. Kalau mimpi kenapa semuanya terasa nyata namun jika bukan kenapa harus berakhir.

            Kamu tau apa yang lebih menyakitkan di banding cinta bertepuk sebelah tangan? Yaitu kamu harus jatuh cinta dengan orang lain disaat kamu sudah memiliki pasangan. Rasanya terlalu dilema. kamu enggan meningalkan pasanganmu namun kamu tidak bisa menampik bahwa kamu jatuh cinta pada seseorang baru di hidupmu.

            Aku kembali mencoba menbuang semua fikiran-fikiran itu, dan mencoba menyiapkan perlengkapanku untuk kembali pulang. Sebelum kami pulang, kami masih menyempatkan diri berfoto sejenak di jembatan cinta. Aku dan Bimo pun tak lupa mengabadikan moment berdua. Membingkai sebuah cerita dari satu lembar kertas bergambar.

            Bunyi nyaring peluit kapal terdengar di telingaku, dua hari telah berlalu. Namun cerita yang tersimpan begitu banyak. Ku langkahkan kakimu menasuki kapal yang akan membawa kami kembali ke pelabuhan angke. Setelah lima belas menis kapal melaju meninggalkan pulau tidung aku bergegas naik ke atas kapan menikmati kembali angin yang mmebelai wajahku, dan melihat lautan yang luas sebagai penyegar sebelum kembali dengan rutinitas.

“Dinda”

Aku langsung menoleh ke asal suara tersebut, “hay Bim” ucapku sambil tersenyum “dalam hitungan jam sebentar lagi semuanya udah selesai ya Bim” ucapku kembali sambil tersenyum getir

“inget aja yang indah-indah Din, dan berusaha bilang kalau yang kita alami dari kemarin itu adalah mimpi sejenak. Gua udah janji sama diri gua sendiri kalau gua ga akan pernah ngedeketin cewek yang udah punya pasangan. Jadi sebelum kita terlalu jauh. Ya lebih baik saat kita nanti tiba di angke. Semuanya udah selesai Din”

Aku menghampur ke pelukannya, membiarkan tatapan orang disekeliling kami menatap dengan wajah penuh curiga. Aku tidak sanggup berkata apapun, yang aku bisa hanya merasakan dekapan hangatnya untuk terakhir kalinya.

“udah jangan nangis, malu diliatin orang ih” ucap Bimo kembali.

Peluit kapal kembali berbunyi menandakan bahwa kapal tersebut sudah tiba di tempat tujuan. Dan sebagai tanda juga bahwa cerita aku dan Bimo juga berakhir sampai disini.sebuah kecupan di keningku sebagai salam perpisahan darinya sebelum kami turun ke ruangan untuk mengambil barang-barang kami.

            Setelah tiba di darat dan karena ruamhku yang beda arah pulang dengan mereka semua aku berpamitan terlebih dahulu, aku hanya tersenyum menahan sakit saat aku harus berpamitan dengan Bimo. Saat di mobil aku masih merasakan kejadian kemarin saat nyata di fikiranku. Melayang, berterbangan dan berputar-putar.

            Kalau kejadian kemarin adalah sebuah kesalahan, mungkin itu adalah kesalahan yang indah. Walaupun aku tahu. Tidak seharusnya aku melakukan hal tersebut di belakang pasanganku. Namun apa dayaku, saat perasaan itu timbul dengan sendirinya menyeruak masuk tanpa permisi. Dan semudah itu aku jatuh cinta. Mungkin benar kata Bimo kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Namun yang perlu kita lakukan hanya menjalani takdir kita dengan baik dan membiarkan semesta yang mengaturnya. “Selamat tinggal Bimo, selamat tinggal kenangan manis.” Ucapku dalam hati sambil tersenyum dan pergi menjauh untuk kembali pulang.
           





No comments:

Post a Comment